Sayangny, pemeran-pemeran lain relatif bermain biasa saja. Peran Ucu remaja yang saya harapkan tampil dengan akting yang kaya—terutama karena ia punya acuan sosok Jusuf Kalla yang sangat ekspresif dan ekstrover layaknya pria Bugis pada umumnya—ternyata tampil cenderung lempeng tanpa gejolak emosi berarti.
Yang tak kalah menarik adalah ditampilkannya seni tenun Bugis, atau tepatnya seni tenun Sengkang, kota kecil yang letaknya sekitar 190 km dari Makassar, yang menjadi lokasi sebagian besar pengambilan film ini. Selain menampilkan para wanita setempat yang sedang menenun, dipamerkan (dengan cara yang halus) betapa indahnya karya artisan tenun Sengkang yang umumnya dari benang sutra dan ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Namun pesan utama yang ingin disampaikan tokoh Athirah lewat buku maupun film ini adalah bahwa ia ingin meluruskan sejarah menyangkut bisnis Haji Kalla. Secara tersirat ia ingin mengatakan bahwa tanpa pertolongan dari dirinya—istri yang diduakan—sang suami bukan hanya sudah bangkrut, tapi juga terlilit utang. Dan kalaupun kemudian bisnis itu bangkit kembali, bahkan menggurita, sesungguhnya si Ucu-lah yang merintisnya dari nol lagi. Mungkin ini semacam bentuk ‘pembalasan dendam’ seorang wanita yang terluka. Apalagi, selama ini perannya nyaris terkubur di bawah kejayaan bisnis Haji Kalla.
Dan meskipun tidak dinyatakan dengan keras seperti halnya protes aktivis antipoligami, sesungguhnya di sepanjang cerita film ini pesan antipoligami terus dikumandangkan. Bahwa poligami bukan saja melukai hati seorang istri, tapi juga melukai hati anak-anaknya. Bahwa poligami lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Foto: Miles Films