Kekuatan cinta seorang ibu memang selalu menarik untuk digali. Namun film ini juga ingin mengungkapkan pesan lain, yaitu ‘meluruskan’ riwayat sebenarnya tentang kesuksesan sebuah bisnis keluarga serta sebuah pesan halus tentang antipoligami.
Banyak bisnis keluarga berawal dari kerja keras suami-istri yang merintis usaha dari nol. Begitu pula yang terjadi pada pasangan Puang Ajji (diperankan oleh Arman Dewarti, aktor lokal Makassar) dan istrinya, Athirah (Cut Mini), yang hijrah bersama anak-anak mereka dari Watampone ke Makassar, Sulawesi Selatan, di awal tahun 50-an. Di Makassar, usaha mereka makin berkembang; mulai dari bisnis tekstil hingga transportasi antarkota. Di Makassar, Athirah melahirkan dua anak lagi.
Namun, ketika pasangan ini mulai menikmati kesuksesan bisnis mereka, diam-diam Puang Ajji menikah kembali, meskipun kenyataannya kabar itu sudah berembus ke seluruh kota. Athirah pun terpukul sejadi-jadinya. Di satu sisi, ia mencoba meraih suaminya kembali dengan pergi ke dukun (meskipun gagal di tenah jalan). Ia juga mencoba menahan suaminya dengan cara hamil lagi. Tapi semua usaha itu tak berhasil membuat sang suami sepenuhnya kembali kepadanya. Ia tetap harus membagi suaminya dengan wanita lain.
Melihat derita ibunya, Ucu (Christoffer Nelwan dan Nino Prabowo), putra tertua Athirah, pelan-pelan mengambil peran menjadi pengganti sang ayah,sebagai kepala keluarga yang melindungi ibu dan adik-adiknya. Pemuda remaja itu juga terpaksa menerima penolakan cinta dari Ida (Indah Permata Sari dan Tika Bravani), gadis yang dicintainya, hanya karena orang tua si gadis tak rela anak mereka nantinya juga akan dimadu bila menikah dengan Ucu.
Melihat pengorbanan anak lelakinya, harga diri Athirah bangkit kembali. Ia memutuskan untuk memulai sendiri bisnis jual-beli sarung tenun Sengkang langsung dari perajinnya. Ternyata bisnisnya cepat berkembang dan hasil keuntungannya dibelikan emas. Emas-emas itulah yang akhirnya menyelamatkan Puang Ajji dari belitan utang ketika terjadi devaluasi rupiah besar-besaran di tahun 1966, ketika nilai uang seribu rupiah jatuh menjadi satu rupiah.
Ketika sudah jadi mahasiswa, Ucu lalu melanjutkan usaha sang ayah yang saat itu bisa dibilang sudah bangkrut. Ia memulai kembali semuanya nyaris dari nol. Bisnis yang dimulai Ucu itulah yang di kemudian hari berkembang pesat dan akhirnya menjelma jadi sebuah konglomerasi berskala nasional.