Seorang ibu melempar bayinya dari lantai tiga sebuah mal. Seorang ibu yang lain tega menggantung sampai mati dua anak tirinya yang masih kecil. Begitu sulitkah menjadi ibu di zaman sekarang?
Bila ini adegan film atau cerita fiksi, maka kita akan mengatakan betapa melanturnya si pembuat cerita. Terlalu fiktif, terlalu menyimpang dari logika. Tapi peristiwa tersebut seolah menegaskan
bahwa fiksi telah kalah oleh realita. Dan kita pun terperenyak.
Tidak mudah menjadi ibu. Tidak ada sekolah atau kursus keterampilan pelajaran untuk menjadi ibu, apalagi ibu yang baik. Ada sekolah untuk menjadi guru, perawat, montir, dokter, perancang bangunan, dan sebagainya.
Dongeng anak-anak yang ada juga lebih banyak berkisah tentang putri dan pangeran. Penutup dongeng selalu berupa pernikahan yang happily ever after. Tak ada kelanjutan cerita, misalnya bagaimana hidup si wanita setelah menjadi ibu—yang harus menjalani komitmen tanpa jeda untuk mengasihi dan merawat anak-anaknya, plus pengabdian dan pengorbanan yang nyaris tanpa batas. Tanpa digaji, tanpa cuti, tanpa tanda jasa.
Tak heran bila seorang ibu muda dalam keputusasaannya memilih untuk melempar bayinya dari ketinggian, lalu hendak melempar dirinya sendiri. Mungkin ia berpikir segala persoalan akan tuntas setelah ia dan bayinya mati. Tindakan yang meninggalkan sebuah tanda tanya besar. Mungkinkah ibu ini tak lagi percaya pada dunia? Bahwa pasti akan ada seseorang yang bisa memberinya pertolongan?
Di sisi lain, seorang model ternama, ikon kecantikan dan fashion, berhasil meningkatkan karier sebagai wakil rakyat. Sebuah pencapaian yang menjadikannya sempurna sebagai ibu dari tiga anak. Tapi kemudian dia tertangkap basah sedang menginap bersama aparat yang bukan suaminya. Popularitas sang wakil rakyat membuat pemberitaan merajalela, sehingga anak-anaknya tak sanggup lagi berangkat ke sekolah karena malu. Entah bagaimana anak-anak itu menghadapi tatap mata kawankawannya (dan guru-guru mereka) sesudah peristiwa itu.
Ternyata tidak ada ibu yang sempurna. Lalu di mana mencari ilmu untuk menjadi ibu yang baik?
Teman saya, yang menjadi relawan dan mengoordinasi bantuan pada keluarga prasejahtera, suatu hari mendatangi sebuah keluarga yang menjadi asuhannya. Ia mencatat, pembayaran SPP anak-anak di keluarga itu selalu tepat waktu. Sambil bercanda, teman saya mengatakan, disiplin semacam itu seharusnya menunjukkan kondisi ekonomi yang baik dan tidak berkekurangan. Bukankah ada stigma bahwa keluarga tidak mampu selalu telat membayar SPP anak-anak mereka?
“Setiap kali ayahnya gajian, terlebih dulu saya sisihkan untuk bayar SPP anak-anak. Supaya mereka tidak malu dan tetap punya harga diri. Kalau nanti di tengah bulan beras habis dan kami harus mencari pinjaman untuk makan, itu bisa dipikirkan nanti,” kata sang ibu dengan polos.
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah papan sederhana. Penghasilan sang ayah yang pernah kena stroke hanya Rp2 juta per bulan. Itu pun kalau masuk kerja sebulan penuh tanpa absen karena sakit atau harus terapi. Tapi dengan keterbatasan itu, sang ibu memegang teguh disiplin membayar SPP demi menjaga harga diri anak-anaknya. Agar mereka bisa berangkat ke sekolah dengan kepala terangkat tanpa menanggung beban malu. Dia seorang ibu berdaster, bukan wanita karier, bukan wanita berprestasi. Tapi mungkin kepadanyalah wakil rakyat yang mantan model itu perlu belajar tentang bagaimana ia menjaga harga diri dirinya sendiri dan keluarganya.
Sungguh tidak mudah menjadi ibu. Tapi apakah hanya ibu yang sempurna yang layak disayangi?
Mungkin Anda masih ingat Oshin, film serial Jepang lawas—yang versi pendeknya sekarang diputar ulang di saluran TV berbayar. Versi pendek ini hanya mengisahkan masa kecil Oshin, gadis kecil yang terpaksa meninggalkan kehangatan keluarganya di kampung untuk menjadi pembantu di rumah keluarga Kagaya di kota. Keluarga Kagaya terdiri atas seorang nenek, ayah dan ibu, serta dua anak perempuan. Pada sebuah perayaan agama, Oshin dan keluarga majikannya pergi berdoa di kuil. Pada saat itulah Oshin bertemu dengan ibunya yang sedang dikelilingi beberapa pria. Ibu Oshin bekerja di sebuah pemandian dan para pria itu adalah tamunya. Melihat itu, Oshin bukah hanya sedih dan terpukul, tapi juga mulai meragukan sang ibu.
Melihat itu, tokoh Nenek, sang majikan, mendekatinya dan berkata, “Oshin, perempuan sering kali tidak hidup demi dirinya sendiri, melainkan demi orang tua, suami, anak-anak, dan keluarga besar. Demikian pula ibumu. Dia pastilah melakukan semua itu dengan hati yang sangat berat, namun tetap ia lakukan demi keluarga. Maka cintailah ibumu apa adanya.”
Ketika Oshin pulang ke rumahnya di desa, pada suatu pagi dia melihat ibunya tengah memasak di dapur. Cahaya pagi membasuh wajah sang ibu. Oshin melihat sebuah raut yang sederhana, menanggung banyak beban, namun ikhlas menjalani takdir hidup. Dia bukan ibu yang sempurna. Kemiskinan membuatnya harus mengirimkan anak-anaknya ke kota untuk bekerja di usia sangat muda. Namun pada wajah itulah Oshin menemukan ketulusan dan cinta seorang ibu. Tiba-tiba ia merasa sangat mencintai ibunya. “Ibu, aku sangat bahagia menjadi anakmu,” kata Oshin sepenuh hati.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita membuat anak-anak kita terbangun setiap pagi dan merasa bahagia menemukan kita sebagai ibunya?
[Baca juga berbagai masalah komunikasi ibu dan anak di sini]