Suatu ketika di akhir tahun, Bunda tak hentinya menahan heran ketika saya bilang, “Bulan Agustus aku pergi ke Sumba ya!”
Usai saya mengatakan itu dengan santai, ia hanya heran dengan kelakuan anak perempuan satu-satunya. Belum lagi pada saat itu status saya masih mahasiswa yang uangnya juga pas-pasan.
Bunda dan Ayah sudah paham betul kegilaan traveling yang saya lakukan sebelumnya, tentunya karena faktor keuangan yang pas-pasan tadi. Sebut saja overland trip dari Bandung menuju Pulau Flores yang menghabiskan waktu empat hari lamanya (itu baru perjalanan menuju tujuannya, ha ha!).
Sesungguhnya tidak hanya itu mereka selalu mengkhawatirkan saya ketika minta izin untuk bepergian. Bunda terutama, yang paham betul bahwa saya tidak bisa diam dan punya banyak alasan untuk bepergian dengan segala cara. Namun, alasan saya tidak pernah berubah, “Ini kebutuhanku!”
Dan hal ini terus berlanjut hingga sekarang. Kenapa?
Ketika pergi berlibur, saya merasa dapat menghargai diri sendiri. Berhemat yang saya lakukan sebelum dan sesudah berlibur membuat saya tahu betul bahwa berlibur adalah harta terbesar saya (setelah keluarga, tentunya).
Saya merasa seperti menjadi pribadi baru, karena hal-hal negatif yang saya miliki perlahan tercuci selama liburan berlangsung. Jika sulit menyisihkan waktu yang panjang untuk berlibur, sekadar dua hari menginap jauh dari hiruk-pikuk sehari-hari pun bisa menolong saya.
Memilih waktu yang tepat untuk berlibur membuat Anda tahu kapan waktunya Anda mesti lepas dari rutinitas. “Rutinitas tanpa batas” menjadi sebutan yang keluar ketika Anda sibuk menggeluti apa yang Anda kerjakan. Namun dengan hadirnya waktu berlibur, batas itu pun ada, dan membuat Anda tetap bersemangat; ketika menuju batas dan bertemu liburan, dan juga setelah berlibur.
Berbelok sedikit dari jalur yang biasa Anda jalankan, sehingga Anda lebih sadar dengan kehidupan yang ingin Anda jalani. Tampaknya semua setuju bahwa kesibukan akan memabukkan pikiran Anda. :-)
Setiap perjalanan yang saya lakukan selalu memiliki cerita berkesan. Melanjutkan cerita saya di Sumba, perjalanan itu menjadikan saya pribadi yang lebih bersyukur.
Perjalanan tersebut membuka mata saya bahwa benar adanya, di negeri tempat saya tinggal, masih ada yang kekurangan air bersih. Namun, hal besar yang lebih berbekas adalah bagaimana anak-anak di sana bisa begitu menikmati hari-hari sederhana mereka dengan bersenang-senang (tanpa gadget, pastinya).
Melihatnya membuat saya memiliki jarak untuk bercermin pada diri saya sendiri. Pandangan Anda terhadap diri sendiri akan lebih objektif karena self-reflection yang dilakukan.
Kenikmatan yang saya dapatkan dari perjalanan ke Sumba menenangkan pikiran saya. Jauh dari orang-orang yang biasa saya temui juga membuat saya semakin tenang. Dan yang lebih menyenangkan lagi, susahnya sambungan internet membuat kekayaan saya bertambah berkat Sumba. Pemikiran pun lebih terstruktur dan saya bisa berpikir lebih tenang.
Semakin mudah untuk berpikir membuat saya tidak puas diri sehingga ingin terus belajar. Dengan begitu, cara pandang baik itu melalui mata maupun hati dalam melihat kehidupan jadi lebih segar. Semakin beruntung rasanya ketika dapat bertukar pikiran dengan orang baru sehingga cara pandang saya semakin kaya.
Liburan ke Sumba mengubah pikiran maupun hati saya. Tentunya hal ini ikut meningkatkan kreativitas. Saya jadi tahu apa yang ingin saya lakukan berikutnya. Budaya baru yang saya temui membuat saya tahu betul bagaimana posisi saya selama ini yang begitu kecil dan ‘miskin’.
Bagaimana dengan Anda?