Banyak perusahaan asuransi mengiklankan produk mereka sebagai produk investasi. Namun sebagai konsumen, kita harus menomorsatukan tujuan utama asuransi.
Sejak muda, Wida sangat peduli pada kesehatan. Ia disiplin berolahraga dan ketat mengatur makan. Namun ia juga sadar bahwa penyakit atau kecelakaan bisa datang tanpa diundang. Karena itu, di usia 28 tahun—tak lama setelah kelahiran anak pertamanya—Wida ikut asuransi kesehatan.
Sampai memasuki usia 65 tahun, ketika pertanggungan asuransi kesehatannya berakhir, Wida hampir tak pernah melakukan klaim yang berarti. Puluhan tahun rutin membayar premi, Wida pun bertanya kepada agen asuransinya, “Lantas, saya dapat apa?” Sang agen hanya tersenyum dan menjawab, “Tidak dapat apa-apa, Bu. Ibu justru seharusnya bersyukur bisa sehat terus. Itu adalah bonus dari kami.”
Asuransi adalah proteksi
Sepintas lalu kasus yang dialami Wida terdengar tidak adil bagi konsumen. Selama puluhan tahun rajin membayar premi polis, sudah puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang disetorkan Wida ke perusahaan asuransi. Namun setelah pertanggungan usai—asuransi kesehatan biasanya hanya memberi pertanggungan sampai nasabah berusia 65 tahun—Wida tidak mendapatkan pengembalian satu sen pun.
Namun menurut Eko Endarto RFA, perencana keuangan dari Finansia Consulting, memang begitulah aturan main asuransi. “Karena asuransi adalah proteksi, bukan investasi. Kita tidak mencari laba dari asuransi. Manfaat atau keuntungan membeli asuransi kesehatan akan kita dapatkan bila terjadi risiko-risiko yang dipertanggungkan, misalnya menderita penyakit berat tertentu, mengalami kecelakaan, atau meninggal dunia,” jelas Eko.
Harus diakui, masyarakat Indonesia memang belum insurance-minded. Bahkan sampai saat ini, menurut Eko, tak lebih dari 10% orang Indonesia yang membeli asuransi.
Terlepas dari kondisi ekonomi mayoritas orang Indonesia yang masih menengah ke bawah, “Ini juga tidak terlepas dari budaya kita yang sistem kekerabatannya masih cukup kuat. Kalau ada anggota keluarga yang sakit parah, misalnya, biasanya keluarga besar akan bergotong royong ikut membantu. Orang kita juga masih cukup religius dengan menyakini bahwa segala kesulitan pasti akan ada jalan keluarnya,” Eko menambahkan.
Mungkin karena itu pula pemerintah sempat kesulitan mengajak masyarakat Indonesia untuk ikut program BPJS Kesehatan secara mandiri. Soalnya, mereka masih mengganggap rugi bila harus bayar premi setiap bulan tapi ternyata tidak sakit. Apalagi, mereka juga belum sepenuhnya percaya pada pemerintah bahwa uang yang mereka setorkan tidak dikorupsi oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Mereka baru menyadari betapa pentingnya ikut BPJS setelah menderita sakit parah.