Eka Karya Graha Flora menjalankan strategi baru pada tahun 2008. Yuni membawa Eka Karya memasuki segmen konsumen perorangan yang lebih luas. Ia mulai melakukan marketing communication yang sesuai—salah satunya lewat penyelenggaraan acara dan direct selling. Ada galeri Eka Karya di Kemang, Jakarta, dan di lantai dasar Aeon Mall, BSD City. Sebelumnya konsumen banyak dari kalangan bisnis dan pembeli perorangan membeli lewat distributor.
Dari segi penempatan produk, Eka Karya juga mulai masuk ke Foodhall dan Ranch Market untuk mempermudah jangkauan pelanggan. Dari segi promosi, Yuni rajin menyertakan anggrek Eka Karya dalam pameran tahunan Pekan Flori dan Flora Nasional (PF2N) dan wedding exhibition. Berkolaborasi dengan brand lain dan mengadakan workshop juga ia lakukan agar masyarakat mengenal anggrek lebih dekat, selain beriklan di berbagai media.
“Rasanya seperti tertantang. Karena produk ini hidup, perlu kepekaan untuk menghadapi apa saja yang mungkin terjadi pada si anggrek,” jelas Yuni. Ini yang membuatnya bertahan mengandalkan keterampilan sumber daya manusia ketimbang mesin. Manusia, katanya, punya kepekaan alami yang tak bisa digantikan oleh mesin. Misalnya saja saat menyiram para ‘bayi’ anggrek, tumpukan daun harus dibuka agar air bisa sampai ke akar.
Penyakit tanaman merupakan tantangan tersendiri. “Perlu dilihat lebih detail penyakit si anggrek agar tak salah langkah menangani. Ibarat mengurus anak, kalau tidak peka, orang tua bisa salah memperlakukan batuk kering dan batuk berdahak.”
[Intip rahasia sukses tiga penyiar yang kini membangun bisnis kue di sini]
Kami menuju green house—di dalamnya terdapat hamparan hijau bibit anggrek yang mulai tumbuh dalam pot-pot kecil transparan. “Mereka dikelompokkan berdasarkan umur. Yang di sini lebih muda dari yang di ruang berikutnya,” Yuni memandu. Kami terus menyusuri green house sampai menemukan wadah bibit yang tertembus akar. Bagi Yuni ini bisa berarti tanda awal untuk mengingatkan para partner pemasok pot agar menjaga kualitas.