
“Kita melatih mereka. Mengirim mereka training tiga bulan di hotel, mengajari teknik arung jeram selama enam bulan, dan sebagainya,” cerita Yunita. “Jadi, kita sudah keluar uang sebelum mereka bisa menghasilkan.”
Gegar budaya juga menjadi masalah. Seiring perkembangan Arus Liar, daerah Citarik turut berkembang. Jika dulu profesi hanya tukang ojek dan pengangguran, kini ada sekuriti, kasir, hingga guide. Jika dulu sepi pendatang, kini Citarik disambangi orang kota. Ketika itu terjadi, masyarakat terjerat konsumerisme. “Mereka kena godaan setan kartu kredit ala Citarik. Cicilan banyak, dari celana sampai parabola,” kata Yunita. “Belum lagi soal sampah.”
Tak mau menyerah, Yunita konsisten mengadakan penyuluhan masyarakat. Ia bahkan mengundang penasihat keuangan untuk membantu mengubah budaya kredit jadi menabung. Ia juga masuk ke sekolah-sekolah dan mengampanyekan soal pentingnya kebersihan.
Lebih dari 20 tahun berjalan, Arus Liar kini sudah jauh berkembang. Yunita punya 120 karyawan, 40 perahu, dan tiga macam jenis penginapan (dari camping tent hingga bungalow). Arus Liar pun sudah berkembang menjadi one-stop adventure, yang selain arung jeram, menawarkan beragam aktivitas lain seperti trekking, paint ball, hingga glamping (glamorous camping) di bawah nama Bravo Adventure.
[Baca juga kisah pejuang pendidikan untuk anak-anak tuna rungu]
Foto: Dachri M.S, koleksi pribadi