Ketika pada 1987 Amalia Yunita mengarungi Sungai Cimandiri, Sukabumi, ia nyaris tamat. Perahu karet yang ditumpangi terjepit di celah batu karena terdorong arus liar, dan Yunita terlontar ke dalam jeram. Dari belakang, perahu lain melaju dengan kecepatan penuh. Kepala Yunita berada di antara jalur kapal dan batu. Dalam sepersekian detik, seseorang menyelamatkannya dari tubrukan. Yunita sempat kapok, namun nasib seperti mengarahkan Yunita kembali ke air.
Pada 1991, setelah lama absen di kegiatan air, Yunita kembali lewat ekspedisi bahari yang membawanya berlayar dari Sulawesi hingga Jakarta. Pada 1992-1993, ia mencicipi sungai di Amerika Serikat dan Afrika. Ketika itu matanya terbuka. Ia mengamati di sekeliling lokasi ada banyak restoran, toko suvenir, hingga toko cuci-cetak foto. Pemandu wisata pun terlatih dan tersertifikasi. Ia merasa industry arung jeram di dua negara itu sangat maju.
Pasca kuliah di jurusan Teknik Sipil, Yunita sempat bekerja kantoran, mulai dari jadi pemasar asuransi hingga analis pasar modal. Tetapi Yunita telah menemukan passion di arung jeram. Hal itu mendorongnya mendirikan Arus Liar pada 1995.
[Baca juga tentang berbagi ilmu praktis di pasar Kemisan]
“Alam Indonesia bagus banget, dan potensi wisata petualangannya besar sekali,” kenang Yunita. Ia melihat belum ada yang serius mengolah wisata arung jeram. Namun, peluang itu bukan tanpa tantangan. Tantangan pertama adalah soal stigma. Saat itu, orang pesimis terhadap prospek wisata arung jeram. Nama “arung jeram” sendiri masih asing. Pun ada yang tahu, mereka mengklasifikasikan sebagai olahraga ekstrem.
Stigma itu menyulitkan Yunita dalam berpromosi. Kebetulan, biaya arung jeram pun tidak murah. “Saat itu,” kenang Yunita, “banyak yang berpikir, ‘ngapain bayar mahal-mahal buat mati?’”
Ia pun putar otak. Yunita mengalihkan target ke kalangan ekspatriat. Selain itu, ia mulai menggandeng media massa untuk ikut mencoba, begitu pula para selebriti. Lambat laun, kepercayaan dan ketertarikan orang perlahan mulai terbangun.
Tantangan selanjutnya adalah mendidik masyarakat lokal. “Salah satu misi kita, kan, pemberdayaan masyarakat lokal,” jelas Yunita, “tetapi itu tugas berat.” Daerah Citarik merupakan daerah tertinggal. Lulusan SMA sulit dicari, apalagi sarjana. Itu sebabnya, memberdayakan masyarakat perlu usaha lebih.