
Penulis novel biografi Athirah sebut buku dan film adalah dua medium cerita yang berbeda. Ia tak keberatan tak terlibat dalam produksi film ini.
Sebelum diangkat ke layar lebar, kisah hidup Athirah sudah lebih dulu dihadirkan dalam bentuk novel oleh Alberthiene Endah. Meski demikian, penulis yang akrab disapa AE ini tak terlibat dalam proses produksi film ini. Ia yang ikut hadir dalam konferensi pers film ini pada 23 Agustus 2016 itu mengaku tak masalah dengan hal ini.
AE berpendapat bahwa novel dan film adalah dua medium bercerita yang berbeda. Karena itulah ia memberi kebebasan pada Mira Lesmana dan timnya untuk memvisualisasikan kisah ini. “Saya pikir akan lebih baik kalau saya nggak ikut campur. Lebih baik mereka mengerjakan produk ini sebagai produk baru dengan cara penciptaan mereka sendiri,” AE menjelaskan.
Penulis yang populer dengan karya-karya biografinya ini juga menambahkan tentang keengganannya pada istilah ‘adaptasi‘. Ini karena kesannya sebuah film dianggap ‘menyalin’ ide dalam sebuah buku, padahal sebenarnya tidak demikian. Bagaimanapun, buku dan film adalah dua medium bercerita yang berbeda sehingga perlu proses kreatif berbeda, dan punya cara menikmati yang berbeda pula.
“Banyak yang bilang ke saya kalau film x nggak sebagus bukunya. Ini selalu jadi PR juga buat saya bahwa budaya nonton film dan membaca itu berbeda,” ungkapnya. Ia lalu mencontohkan perihal buku yang mungkin bisa kita nikmati selama apa pun, lengkap dengan imajinasi yang kita bangun sendiri. Sementara itu, katanya lagi, seorang pembuat film harus memuaskan penonton selama dua jam atau kurang dan harus mengakomodasi semua daya tarik yang ada di dalam versi buku.
Salman Aristo, penulis skenario film Athirah, juga ikut angkat pendapat. Katanya, film dan buku memang bukan medium yang sama, sehingga sudah tentu hasilnya berbeda. Ia percaya, bukanlah perbandingan yang tepat untuk membandingkan keduanya. “Kita nggak akan pernah mendengar, misalkan, ada musisi terinspirasi dari lukisan, dia mencoba mengadaptasi lukisan afandi menjadi lagu. Pasti kita nggak akan pernah bilang lagunya nggak mirip lukisannya,” lanjutnya bermetafora.
Mira Lesmana yang memproduseri film ini yakin bahwa yang diangkat ke layar lebar dari sebuah cerita adalah ruh dari cerita itu. Jadi, ia tak menggambarkan detail persis jumlah anak Athirah, misalnya, karena ia tak punya visi untuk menceritakan tentang seorang yang dalam perjalanan hidupnya melahirkan beberapa kali.
“Itu bukan main idea-nya. Yang kami ambil itu ruhnya, jadi ini tidak semata-mata biografi dari seseorang. Kami menangkap Athirah sebagai karakter. Anggap saja kita nggak tahu itu nyata, anggap saja kita nggak tahu ini siapa,” jelas Mira dalam acara yang sama.
Film punya kekuatan dan kelemahannya sendiri, demikian juga dengan novel. Film mengadaptasi untuk memaksimalkan apa yang menjadi kelebihan film. Berbagai penambahan, pengurangan, dan hal lain dilakukan untuk memaksimalkan medium bercerita ini. Sebagai penutup, AE pun menegaskan, “Jadi, saya sangat nggak apa-apa nggak terlibat dalam filmnya karena mereka sedang berpesta dengan mekanisme kreasi film.”
[Bca juga tentang film Bukaan 8 di sini]
Foto: Miles Films