“Kalau bintang, itu, kan, cantik-cantik dan tampantampan. Itu yang utama. Kalau aktor, ya berperan, makanya bisa dilihat siang dan malam,” ujarnya santai, namun filosofis. Meski sudah tak muda lagi, nama Ray Sahetapy kian kukuh dalam deretan aktor senior Nusantara. Terbukti tahun ini ia masih eksis berkarya. Yang paling dinanti adalah aktingnya sebagai The Auctioneer dalam film superhero lansiran Marvel Studios, “Captain America: Civil War”.
Bagi Ray, seorang aktor adalah orang yang bertugas menyampaikan gagasan kepada para pemirsa. Baik atau buruk, yang menyedihkan maupun yang jenaka, semuanya harus sampai dengan baik lewat peran yang ditampilkan karakternya. Ini, menurut Ray, bisa dicapai asalkan para pemeran memahami konsep keseimbangan. Tidak kurang, dan tidak berlebihan.
Teorinya, sebuah karakter tak boleh terlalu menonjolkan satu sisi saja, sebab manusia punya kompleksitas pribadi yang menentukan tindak-tanduknya. Teorinya, berakting tak semata melafalkan kata demi kata skenario sebuah peran.
Berpura-pura menjadi seseorang tidak akan sama dengan menjadi seseorang itu sendiri. “Kita harus tahu siapa diri kita dulu baru bisa tahu siapa orang lain,” jelasnya. Ia mengamati sekeliling dan menunjukan betapa seseorang bisa punya kecenderungan melakukan suatu hal dengan cara tertentu. Sekadar intonansi berbicara saja harus dipilih. “Si X akan punya cara bicara yang berbeda dengan Y, meski mereka mengucap hal yang sama,” ia mencontohkan.
Ketika memerankan presiden, seorang aktorlah yang memilih bahwa tokoh presiden itu adalah manusia yang punya pemikiran-pemikiran. Begitu juga ketika aktor berperan sebagai tukang kayu. Dia akan mencari sesuatu dalam tukang kayu itu yang membuat orang-orang yakin dan percaya bahwa sang aktor adalah tukang kayu, sekaligus manusia dengan berbagai karakterisitik dalam pribadi yang utuh.
Ketika Anda menyaksikan sebuah lakon, karakter yang diperankan dengan baik akan memberi pelajaran yang manusiawi. Misalnya, pembunuh pun sebenarnya manusia yang punya keluarga. Manusia biasa yang punya alasannya sendiri di balik tiap aksi yang dilakukannya. Sederhana, tapi tak terlupakan.
Mendengar teori Ray, rasanya saja sulit, apalagi melakukannya. Dan sebagaimana hal sulit lainnya, perlu waktu untuk melakukannya dengan baik. Ray pun merasakan hal ini dalam kariernya. Mendalami karakter, ia merasa, tak cukup hanya dengan membaca naskah atau reading. Dulu, ia biasa berlatih peran hingga malam berganti pagi di studio kampus Institut Kesenian Jakarta. Sekarang, ia melakukannya di rumah, meski sebetulnya ia perlu ruang yang lebih mirip studio.
Ia merasa terusir ketika orang merasa terganggu dengan latihan aktingnya. Meski begitu, ia tak bisa menyalahkan. Ia punya mimpi, menyediakan sebuah ruang akting untuk para aktor. Tujuannya jelas—agar aktor bisa menyampaikan gagasan suatu karakter dengan baik. “Tak cukup ruang untuk mendalami peran,” ujarnya gelisah. “Padahal, saya sedang mencari sesuatu untuk melengkapi tubuhku yang kosong ini.”
Berbincang sejenak saja dengan aktor kelahiran Donggala, 1 Januari 1957 ini, Anda akan segera paham ketertarikannya pada gagasan Nusantara. Gagasan keseimbangan yang ia resapi dalam akting berakar dari gagasan Nusantara yang ia yakini. “Nusa adalah pulau, dan pulau adalah tanah. Di antara pulau ada laut. Karena unsur air dan tanahnya seimbang, maka gagasan yang muncul di sini adalah gagasan keseimbangan. Gagasan perdamaian. Kalau seimbang, kan, jadi damai,” katanya kembali berfilosofi, menutup perbicangan kami tengah hari itu.
Foto: Dennie Ramon