Internet membawa sejuta manfaat bagi perkembangan anak, tapi juga membuka ruang bagi paparan konten negatif serta kriminalitas.
‘Penyiar-penyiar’ baru
Jika Anda bertemu Luna* di mal atau tempat publik lainnya, mungkin ia tidak terlihat berbeda dari anak-anak perempuan kebanyakan. Di usia tujuh belas setengah, ia tampak manis dengan rambut hitam sebahu, yang kadang diikat kuncir kuda atau dicepol. Tubuhnya tak bisa dibilang kurus, tapi jelas tidak gemuk. Mata dan senyumnya memancarkan keramahan, selaras dengan suara halus dan santun gaya bicaranya.
Tetapi semua berubah ketika malam tiba. Luna hobi menggunakan Bigo Live, satu aplikasi ponsel asal Singapura yang memungkinkan seseorang untuk membuat siaran langsung (live streaming) aktivitas dirinya. Ada beragam potensi yang dibawa oleh aplikasi ini. Sederhananya, orang tidak perlu masuk TV untuk unjuk bakat dan kebolehan, termasuk untuk melayani masyarakat.
Sebagai contoh, beberapa pengguna (broadcaster, istilahnya) telah memanfaatkan Bigo Live sebagai saluran kelas menggambar, gratis. Ada pula dokter yang memberikan konsultasi gratis, ada para penyanyi, hingga para pemuda yang memanfaatkannya untuk berdakwah agama.
Tapi tidak dengan Luna. Ketika siaran, apa yang dilakukan Luna jauh lebih sederhana, meski dampaknya lebih riuh. Ia lebih banyak berpose di ranjang. Terkadang, sambil bernyanyi kecil. Dan ketika malam semakin larut, ia mulai menari. Ketika itu terjadi, komentar yang masuk di lini masa Luna menggila.
Beberapa ‘pemirsa’ mulai bilang, “Bukaaaa!” Ada pula yang melontarkan kalimat seronok berbau pelecehan seksual. Yang lebih santun cuma kasih nomor telepon. Jika sedang beruntung, para pemirsa kalap ini akan mendapati Luna bertingkah seronok.
Luna tentu bukan satu-satunya. Ada banyak broadcaster lain yang lebih gila dalam memamerkan tubuh mereka (cek Google dan YouTube, kalau tidak percaya). Dan Bigo Live bukan satu-satunya medium praktik itu. Ada beragam situs dan aplikasi lain dengan fitur serupa. Tetapi, apa alasan mereka melakukan hal seperti itu?
Uang, tentu saja. Aplikasi Bigo Live, misalnya, memungkinkan para broadcaster mendapat penghasilan melalui “gift” yang diberikan pemirsanya. Gift itu, jika sudah terkumpul, dapat ditukar dengan uang. Dan uang saku tambahan Rp2 juta per bulan tentu lumayan buat anak belasan tahun.
Legal atau ilegalnya, etis atau tidaknya cara Luna mencari uang, mungkin bisa diperdebatkan hingga akhir zaman. Tetapi beberapa hal rasanya lebih penting untuk dipikirkan oleh para orang tua. Di era banjir konten seperti sekarang, anak jadi mudah terpapar oleh konten, termasuk yang negatif. Dan sialnya, sebagian bahkan berujung tindak kriminal.
Orang tua vs gadget
Segala potensi bahaya, plus risiko terpapar konten negatif, tentunya tidak bisa dijadikan alasan untuk memutus total akses anak terhadap gadget dan internet. Selain berpotensi malah merugikan, hal itu nyaris mustahil dilakukan.
Widuri dari ICT Watch mengatakan, “Tidak bijak juga untuk melakukan blokir ala negara Cina. Internet banyak manfaatnya, kok. Lagi pula, satu diblokir, akan muncul seribu. Dan di sisi lain kita tak bisa menghentikan orang yang sudah berniat ke arah situ (pornografi dan prostitusi). Mereka pasti menemukan jalan tikus.”
Bagi Widuri, yang terpenting adalah melindungi orang-orang di luar mereka dari paparan konten negatif. Dalam hal ini, khususnya anak-anak. Dan menurutnya, peran orang tua sangat vital, baik sebagai penyedia akses (gadget dan internet), maupun sebagai seorang pembimbing.
Menurut buku panduan Internet Sehat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika orang tua hendak memberikan akses gadget dan internet pada anak.
Pertama, berdiskusilah soal kebutuhan. Diskusi tersebut mesti berjalan layaknya dua orang setara, alias tidak satu arah dan berbau instruksi atau ultimatum. “Untuk anak zaman sekarang, mungkin lebih tepat memberi pengertian ketimbang melarang,”jelas Widuri. “Mereka bisa saja mencari di luar. Di daerah, anak-anak biasa membayar operator warnet Rp5 ribu untuk meminta dibuatkan akun Facebook.”
Para orang tua mesti bertanya kepada anak tentang apa kebutuhannya sehingga mesti memiliki akses internet dan gadget tertentu. Kemudian, ajak anak untuk mempelajari teknologi tersebut. Orang tua, di sisi lain, tidak perlu takut dianggap gaptek atau tidak kekinian. Momen itu sesungguhnya merupakan kesempatan berdialog dan belajar bersama anak—yang merupakan generasi digital native. Di saat itu pula bisa tumbuh rasa saling percaya antara orang tua dan anak.
Setelah mendiskusikan kebutuhan, anak perlu diajak berdiskusi tentang tanggung jawab dan komitmen. Sebelum akses diberikan, orang tua dan anak mesti sepaham dan sejalan dengan tanggung jawab masing-masing.
Para orang tua perlu menekankan bahwa ia berhak bertanya soal untuk apa dan bagaimana teknologi itu digunakan. Tegaskan pula konsekuensi jika teknologi itu disalahgunakan. Untuk mengakses konten negatif, misalnya, atau melakukan hal-hal yang bisa merugikan si anak dan orang lain.
Salah satu cara yang bisa digunakan orang tua dalam membatasi akses internet dan gadget anak adalah dengan perjanjian. Misalnya, hanya diberikan pada akhir pekan, atau selama jam-jam tertentu.
“Tapi, para orang tua juga mesti berkomitmen. Jika anaknya sedang main gadget. Temani dia,” jelas Widuri. “Dan ketika anak sedang dilarang main, orang tua jangan malah main. Banyak orang tua memberi gadget ke anak justru karena tidak ingin diganggu. Ini keliru.”
Hal ketiga yang perlu diperhatikan orang tua adalah memberi pengertian kepada anak mengenai risiko-risiko yang mungkin ada. Paparan konten negatif adalah satu hal. Tetapi internet sendiri merupakan pintu masuk bagi berbagai jenis tindak kejahatan lain, mulai dari pelanggaran privasi, penculikan, hingga ancaman predator seksual online.
Untuk menghindari hal tersebut, para orang tua mesti meminta anaknya untuk bercerita dan berterus terang jika ada hal yang membuatnya tak nyaman (hanya mungkin jika ada rasa saling percaya). Di sisi lain, para orang tua juga mesti peka terhadap perubahan perilaku anak. Misalnya, apakah ia jadi pemurung, tidak konsentrasi belajar, malas sekolah atau bahkan mengurung diri.