Event organizer Studio One didirikan Sjamsidar Isa dan kawan-kawannya. Dari sebuah event organizer yang mulanya fokus pada fashion, kini Studio One telah berkembang menangani peluncuran berbagai produk.
Gegap gempita dunia fashion membawa Sjamsidar Isa—yang akrab dipanggil Tjammy—berada di bawah sorotan. Bersama dengan kawan-kawannya yang kuliah di Jerman—Prajudi Admodirdjo dan Lily Salim—ia membuat sebuah brand ready-to-wear collection berlabel Studio One pada 1975. Kala itu Tjammy, Prajudi, dan Lily memutar otak. Bagaimana agar bajubaju mereka cepat terjual? Mereka lalu mengikuti fashion show yang rutin digelar sebulan sekali oleh perancang busana Non Kawilarang di Hotel Borobudur, Jakarta.
Sejalan dengan baju-baju yang laris, fashion show mereka juga jadi buah bibir. Berawal dari situ,
ketiganya kerap diminta menggelar fashion show di hotel-hotel berbintang seperti Hotel Borobudur dan Hilton. Namun visi dan misi yang berbeda membuat Tjammy memilih berpisah dengan Prajudi dan Lily Salim. Ia pun membangun event organizer sendiri yang sampai sekarang masih dinamai sesuai dengan label baju itu, Studio One.
Tahun berganti, tak terasa sudah 40 tahun berlalu. Tjammy kini sudah tak lagi memegang Studio One. Tampuk kepemimpinan diturunkan kepada Aida Nurmala, putri sulungnya, sejak 20 tahun lalu. “Dari dulu saya melihat Aida sebagai anak yang pemberani,” kata Tjammy. Menjalani pendidikan SMA dan kuliah di Australia, Aida tumbuh menjadi anak mandiri. Masa perkuliahan di jurusan Perhotelan ia jalani di Australia. Kembali ke Indonesia, Aida sempat bekerja di hotel di Jakarta, tapi tidak berlangsung lama. Kesibukan yang tak kenal waktu membuat Aida jemu.
“Pada saat itu aku nggak ngapa-ngapain. Satu bulan, dua bulan, ya having fun saja. Sampai Mama bilang, ‘Kamu daripada nganggur, nggak mau di Studio One saja dulu?’ Itu awalnya aku masuk ke Studio One,” kenang Aida. Pada 1995, Aida mulai bekerja di Studio One.
Sama seperti karyawan lain, Aida mulai dari bawah. Awalnya ia diikutkan sebagai anggota tim. Lambat laun, Aida sudah mulai paham dengan pola kerja di Studio One, sebuah event organizer yang mulanya fokus pada fashion namun telah berkembang menangani peluncuran berbagai produk. Setelah tiga tahun bekerja, Aida mulai memimpin Studio One.
Keputusan Tjammy yang cepat mewariskan Studio One kepada Aida bukannya tanpa alasan. Ia melihat banyak temannya yang mewariskan perusahaan kepada anak, tapi masih ikut campur. Akibatnya, si anak yang tadinya semangat untuk menjalankan perusahaan menjadi frustrasi karena keputusannya selalu dibatasi orang tua. “Istilahnya anak disuruh lari, tapi satu kakinya dipegang,” Tjammy mengandaikan.
Kepemimpinan di tangan Aida sudah teruji waktu. Saat situasi sulit, Aida tetap mempertahankan Studio One. Waktu krisis moneter melanda, Studio One sangat sepi job. Karyawan hanya masuk dua kali dalam seminggu. Acara dengan bujet rendah diambilnya juga. Permintaan menggelar fashion show seminggu sekali di Fashion Café ia sanggupi, tapi Aida tetap mempertahankan kualitas fashion show yang digarap dengan serius.
Kini di tangan Aida, Studio One sudah jauh berkembang. Agar lebih tertata lagi, Aida menambahkan beberapa divisi, seperti divisi public relations, design, dan yang terakhir divisi digital—yang melahirkan konten berita dan video tentang fashion, musik dan hiburan, bekerja sama dengan qubicle.id.
Tak terasa sudah 20 tahun Aida memimpin Studio One. “Aku merasa nggak bisa ninggalin Studio One begitu aja. Aku nggak rela kalau misalnya aku nggak fight buat Studio One. Sebisa mungkin, I do my best,” ujar Aida. Nasihat dari ibu yang selalu Aida ingat adalah tidak ada yang mustahil. Dan itu yang selalu ia ingatkan kepada para karyawan-karyawannya hingga kini.
[Baca juga kisah ibu-anak Marista Santividya dan Shunique di sini]
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Erin Metasari
Tata rias dan rambut: Carlos Shu