3. Tidak transparan
“Transparansi keuangan dalam rumah tangga wajib hukumnya,” Rina menegaskan. Semua pemasukan dan pengeluaran yang dilakukan suami dan istri, besar atau kecil, harus dilaporkan—setidaknya dibicarakan—secara transparan kepada pasangan.
Tidak hanya gaji dan bonus yang rutin, tapi juga komisi, hasil pekerjaan sampingan, dan sebagainya. Jangan mentang-mentang Anda yang berkeringat mengerjakan side job, lantas menganggap Andalah yang berhak atas hasilnya.
“Hal itu akan menimbulkan rasa tidak adil bagi pasangannya, terutama bila pasangannya tidak bekerja,” jelas Rina. Dalam kasus Ninies, suaminya menganggap bahwa uang hasil kerja sampingannya itu sebagai uang jajan.
Padahal, menurut Rina, dalam pengeluaran rutin bulanan, seharusnya sudah dialokasikan pos khusus untuk uang saku—untuk suami, istri, dan anak-anak. Uang saku tidak perlu dipertanggungjawabkan pemakaiannya, dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia.
“Istri yang tidak bekerja pun berhak mendapatkan uang saku, karena dia juga perlu bersosialisasi dan sosialisasi membutuhkan biaya,” ujar Rina.
Yang juga kini banyak terjadi, pria dan wanita sudah mapan dalam karier dan keuangan ketika menikah. Akibatnya, setelah menikah keduanya tak mau saling mencampuri (dan dicampuri) urusan keuangan masing-masing.
“Asalkan keduanya sepakat, sebenarnya tidak ada masalah. Suami dan istri hanya perlu membuat kesepakatan pembagian tugas keuangan yang dianggap adil. Misalnya, suami membayar cicilan rumah, cicilan mobil, uang sekolah anak, sementara istri membayar kebutuhan makan sehari-hari, bayar listrik dan PAM. Selebihnya, uangku-uangku, uangmu-uangmu,” ujar Rina.