3. Frustrasi, takut, cemas
Rasa frustrasi kerap menghinggapi orang-orang yang semasa aktifnya merupakan orang-orang yang terbiasa ‘berkuasa’ di tempat kerja (post power syndrome), tapi setelah pensiun tak banyak lagi orang yang masih ‘mengistimewakan’ mereka.
Rasa frustrasi bisa pula muncul karena mereka tidak lagi punya penghasilan sendiri dan terpaksa menggantungkan sisa hidup pada anak-anaknya.
Rasa cemas dan ketakutan yang terpendam juga kerap muncul dalam bentuk sikap rewel. Mulai dari cemas melihat anak yang belum juga menemukan jodoh, hingga ketakutan menghadapi kematian.
Mintalah bantuan dari orang-orang yang dihormati oleh orang tua Anda untuk mengajarkan keikhlasan hidup, mengasah spiritual, serta memperdalam keimanan. Bantu mereka untuk menemukan organisasi atau kelompok hobi tertentu yang sesuai dengan minat mereka.
Siapa tahu di sana mereka bisa menyalurkan kembali bakat kepemimpinan atau minat berorganisasi mereka.
4. Membutuhkan pendamping hidup baru
Keinginan ini biasanya hanya dipendam sendiri karena berbagai alasan. Mulai dari malu terhadap anak-anak dan lingkungan (sudah tua, kok, masih mikirin kawin lagi), takut dianggap menodai kesetiaan terhadap pasangan (yang sudah meninggal), takut kalau keinginan itu ditolak anak-anak, atau karena merasa tidak mampu membiayai rumah tangga baru karena tidak lagi punya penghasilan sendiri.
Menurut Dewi, ini memang masalah yang susah-susah gampang. Di satu sisi, kita menyadari bahwa orang tua (biasanya ayah) masih punya kebutuhan seksual atau sangat membutuhkan pendamping hidup, yang perannya tidak bisa digantikan oleh anak-anaknya.
Tapi keberatan yang paling sering datang dari pihak anak-anak biasanya menyangkut urusan harta (bila orang tua kita kaya), pilihan pasangan hidup (misalnya dianggap terlalu muda atau bukan ‘orang baik-baik’), atau urusan biaya hidup untuk rumah tangga baru orang tuanya, padahal untuk kehidupan sehari-hari saja masih harus disokong oleh anak-anak, yang hidupnya juga pas-pasan.
“Komunikasikan hal ini baik-baik dengan orang tua. Buatlah beberapa kesepakatan bersama untuk mengantisipasi masalah-masalah yang bisa timbul di kemudian hari bila orang tua kita memutuskan untuk menikah lagi.
“Misalnya dengan membuat perjanjian pisah harta yang adil bagi semua pihak (termasuk bagi istri/suami baru mereka), atau membuat kesepakatan bahwa anak-anak hanya bisa menyokong secukupnya kebutuhan rumah tangga baru orang tuanya.
“Dalam hal ini, sangat dibutuhkan sikap dewasa dan realistis dari semua pihak, dan masing-masing harus membuang sikap egoistis,” kata Dewi.
Bila orang tua kita bisa berbahagia lagi bersama pendamping barunya serta lebih ‘terurus’ hidupnya, tentu kita pun ikut bahagia, kan?