3. Tinggal di rumah jompo
Menitipkan orang tua di rumah jompo memang belum umum dilakukan oleh masyarakat kita, setidaknya sampai saat ini.
Selain fasilitas rumah jompo yang disediakan pemerintah belum memadai, baik jumlah maupun kondisinya, masyarakat kita masih menganut asas kekeluargaan yang kuat dan menempatkan orang tua di posisi yang mulia.
Dengan menitipkan orang tua di rumah jompo, bukan saja anak-anaknya akan ‘dihujat’ oleh keluarga besar dan masyarakat sekitar, orang tua pun akan sedih karena merasa ‘dibuang’.
Padahal tinggal di rumah jompo sebenarnya tidaklah seburuk itu. Bisa jadi orang tua malah senang, karena mereka memiliki teman-teman sebaya yang ‘nyambung’ diajak bicara, serta bisa menghabiskan hari-hari tanpa kesepian.
“Tapi, semua itu hanya bisa terjadi kalau orang tua kita mau (dengan keinginan sendiri, bukan karena kecewa pada anak-anaknya) dan merasa betah di sana. Karena, semakin tua seseorang, semakin sulit pula dia menjalin relasi dan beradaptasi dengan orang-orang baru.
“Lagi pula, belum tentu mereka merasa cocok dengan teman-teman baru yang ada. Kalau sudah begitu, sama saja kita menitipkan orang tua di neraka, meskipun rumah jomponya mahal dan berfasilitas hotel berbintang,” Dewi menjelaskan.
4. Membangun ‘rumah tua’
Membangun semacam ‘rumah tua’ berupa rumah-rumah kecil berbentuk cluster, menurut Dewi, juga bisa dijadikan alternatif. Orang tua kita bisa tinggal bertetangga di kompleks itu bersama sahabat-sahabatnya yang ‘sudah teruji waktu’, atau dengan kakak-adik mereka.
Keuntungan lain, karena milik pribadi, rumah itu nantinya bisa diwariskan kepada keturunan masing-masing. Namun, karena butuh biaya cukup besar (untuk patungan membeli lahan dan membangun rumah), perencanaannya harus dibuat jauh-jauh hari.
“Paling tidak, itulah rencana saya dan para sahabat terdekat untuk melewatkan masa tua kami bersama-sama kelak,” kata Dewi, tersenyum.
Jika Anda punya bujet, ide ini bisa Anda rundingkan dengan keluarga.