Makanan tak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik. ‘Kenyang’ secara emosi juga penting: Memuaskan rasa gengsi.
Kita memang harus makan, tapi jangan sampai sekadar fokus ke porsinya hingga tak memerhatikan gizinya. Konsumsi berlebihan, rakus (lapar mata), dan obesitas, jadi pemandangan lazim, walau terkesan egois. Umumnya, konsumsi berlebihan itu karena 3 hal ini:
#1 Meningkatnya daya beli (new money)
“Amerika termasuk negara yang baru saja makmur. Dibanding Eropa yang lebih dulu maju dan makmur, perilaku makan masyarakat Eropa pun berbeda,” kata Rosdiana Setyaningrum, psikolog yang biasa disapa Diana. Dunia industri Amerika dengan prinsip value for money bersaing dengan cara menjual segala sesuatu dalam ukuran besar—termasuk makanan.
Masyarakatnya yang baru mengalami peningkatan daya beli tampak menikmati ‘gaya hidup’ ini. Piring besar berisi porsi besar menjadi gaya makan mereka sehari-hari. Bahan makanan seperti sayuran juga dijual dalam kantong-kantong besar yang tidak bisa sekali dimasak langsung habis.
“Tahun pertama di Amerika, saya heran mengapa porsi paling kecil pun masih tetap banyak, dan saya selalu tutup mata saat membuang sisanya. Saya tak pernah bisa menghabiskan makanan yang saya beli. Tahun kedua, saya mulai terbiasa. Tahun ketiga, badan saya mulai membesar,” cerita teman saya sambil tertawa, mengenang pengalamannya belajar di Amerika selama tiga tahun.
[Baca juga tentang potensi food waste dalam rantai distribusi makanan]
Masuknya resto Amerika bukan penyebab berubahnya perilaku makan masyarakat kita. Pada dasarnya, dorongan untuk membeli dalam porsi besar bisa terjadi pada siapa saja, selama daya beli juga tinggi. Menurut Diana, makan merupakan kegiatan yang sangat emosional. “Unsur psikologisnya sangat besar,” ujar Diana.
Zaman dulu, yang mampu menyediakan makanan dalam jumlah banyak adalah kalangan raja dan bangsawan. Orang miskin hanya makan nasi dengan satu macam lauk. Itu sebabnya, semakin seseorang itu makmur, banyaknya makanan yang dapat dia sediakan menjadi ukuran kehebatan. Periode new money ini akan berakhir ketika seseorang merasa ‘sudah kenyang.’
Wisata kuliner pun menjadi gaya hidup kita saat ini. Duduk di resto tertentu, memesan menu dengan cara penyajian high-end, bisa menjadi ukuran siapa diri kita. Kita bangga saat mampu membeli makanan di sebuah resto milik celebrity chef atau resto favorit artis Hollywood. Lalu makanan itu kita foto, foto kita unggah di media sosial plus nama dan alamat resto, dan bangga ketika di-like follower kita. Tak heran, dong, jika makan itu bisa menjadi sesuatu yang sangat emosional.