Anda mungkin pernah mendengar, atau mengenal, wanita yang sukses dalam berkarier karena berani mengambil risiko ketimbang bermain aman.
Jika Anda termasuk yang lebih suka bermain aman, silakan saja. Namun jika Anda mau sukses, setidaknya tiga hal ini harus Anda buang jauh-jauh. Apa saja, sih?
1. Berbicaralah
Pernahkah Anda berniat menyarankan sesuatu yang baru di kantor, tapi takut dianggap bodoh? Atau menahan keinginan memberi opini karena takut merusak suasana atau mengguncang keseimbangan?
Sekalipun menghindar karena alasan seperti ini adalah reaksi alami, bisa jadi kecenderungan ini merupakan tanda bahwa Anda kurang yakin akan ketajaman naluri Anda.
Padahal, kalau Anda yakin memiliki ide yang oke, kenapa takut? Kalau Anda ‘menjual’ ide tersebut dengan bagus dan keyakinan penuh, kenapa harus khawatir?
Mudah sekali orang keburu menyampaikan argumentasi lemah karena berpikir terlalu jauh dan tidak melontarkan ide lebih spontan. Wanita cenderung menggunakan bahasa yang terkesan rendah hati, seperti, “Kira-kira bisa tidak ya, kita mempertimbangkannya?” dan bukannya “Mari kita coba!”
Wanita juga terbiasa mengemukakan ide dengan bahasa 'berputar-putar'. Bila ingin dianggap, sebaiknya jauhkan kebiasaan ini. Semakin jelas dan mantap Anda mengutarakan ide-ide, semakin serius pula tanggapan yang akan Anda peroleh.
2. Tak lagi terlalu perasa
Lingkungan kerja tak ubahnya keluarga. Bedanya, Anda berkumpul bersama orang-orang yang semula tidak Anda kenal. Seperti juga di dalam keluarga, di kantor Anda setiap hari bertemu dengan orang-orang yang sama, hingga terbuka peluang terjadinya konflik.
Konflik di kantor mungkin terasa menyakitkan, tapi besar kemungkinan tidak ditujukan pada diri Anda pribadi. Mungkin seorang rekan mengucapkan sesuatu yang sekilas mirip konfrontasi pribadi, padahal bukan. Ia hanya bersikap profesional.
Tapi bila telanjur ada prasangka, Anda jadi tersinggung dan berpikir terlalu jauh. Misalnya, Anda tidak diundang ke suatu rapat, padahal menurut Anda, seharusnya Anda ada di situ. Topik dan agendanya penting bagi bagian yang Anda pimpin, dan Anda merasa perlu ikut menyumbang saran atau berdiskusi di rapat tersebut.
Apa yang Anda lakukan? Cuek saja tidak ikut rapat, atau cuek saja ikut rapat sekalipun tidak diminta hadir? Bila Anda orang yang pede dan suka mengambil risiko, Anda akan menempuh jalan yang kedua.
Besar kemungkinan, Anda memang dibutuhkan di sana,'hanya' sekretaris rapat lupa memberitahu Anda; sama sekali tidak ada maksud menyepelekan Anda atau maksud-maksud terselubung lainnya, kok.
3. Nekat ‘mengundang’ risiko
Sesekali nekat mengambil risiko demi sesuatu yang besar bisa pula dicoba. Contohnya Lila, yang pernah diam-diam mengundang mantan menteri ternama dan kontroversial sebagai pembicara dalam konferensi tahunan perusahaannya. Ia merasa, pembicara ini akan memberi dampak bagus bagi semangat kerja karyawan.
Maka, ia membuat deal dengan sang mantan menteri, dan setelah segalanya oke, barulah ia melapor kepada atasannya. Kalau ia melapor sejak awal, ada kemungkinan usulnya yang 'gila' itu akan ditolak. Kalaupun nanti ia dimarahi oleh atasannya, ia bisa minta maaf.
Ternyata acara itu memberi ‘wow effect’ yang diharapkan. Untungnya lagi, sampai kapan pun Lila tak perlu membuka rahasia kepada atasannya tentang besar biaya yang dikeluarkan khusus untuk sang mantan menteri, selama masih masuk bujet.
Prinsip “lebih mudah minta maaf kemudian, daripada meminta izin dari awal” sering dipakai mereka yang berani mengambil risiko. Namun pengambil risiko yang cerdas tahu kalau prinsip ini tak bisa diobral, dan hanya bisa dipakai dalam satu kesempatan penting saja, karena sudah mengukur dulu risikonya!
Foto: CoWomen/Unsplash