Maggie Hutauruk Eddy merasa miris melihat karya seni lokal yang belum dihargai dengan pantas di negeri orang. Jangan dulu menyebut soal materi—masalah klaim kreasi saja ia nilai sangat minim. “Batik sedang tren, tapi keluaran merek luar negeri. Lalu, yang nggak kalah absurd, orang mancanegara tahunya batik berasal dari Negeri Jiran,” katanya kecewa.
Menurut Maggie lagi, sebenarnya kriya Indonesia lebih menarik dan berkualitas dari negara lain. Sayangnya perspektif masyarakat masih menempatkan karya lokal di strata bawah. “Para perajin kita itu mengerjakannya penuh detail. Ini unik karena nggak identik, dan itu yang harus diapresiasi,” ujarnya menggebu gebu.
Ia lalu menyebut area Haji Lane di Singapura. Maggie berpendapat, Jakarta perlu tempat semacam itu, agar seniman jalanan punya wadah yang lebih ‘niat’ untuk pamer karya. “Street artist kita sudah senang bisa ‘mewarnai’ tembok alanan ibu kota, padahal kalau pemerintah bisa melegalkannya di tempat yang baik, tentu akan lebih membanggakan,” ia berharap. Maggie pun ingin Indonesia punya Madison Avenue sendiri. Dan itulah mimpi awal yang mendorongnya mendirikan 2Madison.
Membangun 2Madison, ia percaya, adalah sebuah langkah kecil yang bisa ia lakukan. “Saya nggak bisa, nih, sekadar berharap. Saya harus mulai.” Dan begitulah, ia memutuskan untuk berhenti dari sebuah perusahaan penerbitan dan mulai mendirikan 2Madison. 2Madison adalah sebuah galeri, rumah desain, sekaligus komunitas yang mewadahi para artisan dan seniman lokal untuk bisa berkarya di tanah airnya sendiri. Harapannya tak muluk-muluk, tapi yang sederhana memang sering jadi yang tersulit untuk diwujudkan.
Salah satu hambatan muncul justru dari sumber daya manusia kita sendiri. “Orang-orang kita itu telaten, tapi masih banyak yang cenderung ‘fleksibel’ soal waktu,” katanya. Maggie menceritakan pengalamannya berkolaborasi dengan seorang seniman yang terlambat menyelesaikan karya karena masalah inspirasi yang tak kunjung datang. Untuk ‘mengejar’ yang seperti ini, Maggie bersikap bagai ibu yang cerewet mengingatkan anaknya agar segera mengerjakan PR. “Saya telepon, saya tanya sudah bangun atau belum, sudah makan atau belum, sudah sampai mana mengerjakannya. Karena marah tak akan menyelesaikan masalah, kan?”
Pribadi Maggie memang menyenangkan. Ia selalu berpikir positif, dan punya kecenderungan menyemangati orang-orang di sekitarnya. Saya bisa merasakan antusiasmenya mengerjakan 2Madison. Menurut saya, kualitas inilah yang krusial untuk menggerakkan 2Madison dengan berbagai kegiatannya. 2Madison sering pula mengadakan kontes dan workshop. Ini cara Maggie menjaring bakat dan karya baru, sekaligus berinteraksi dengan para orang kreatif di bidang ini. Soal publikasi, Maggie hanya mengandalkan media sosial dan ‘pengumuman’ dari mulut ke mulut, lewat jaringan kecilnya dengan seniman yang sudah lebih dulu berkolaborasi dengannya.
“Kami nggak bergelimang dana untuk pasang iklan di majalah, apalagi billboard besar di pinggir jalan. Lebih baik dialokasikan untuk hadiah pemenang, deh,” ujarnya mengalkulasi. Ngomong-ngomong soal hadiah kompetisi, jangan bayangkan berbagai gadget canggih atau benda mewah lain. Untuk salah satu kompetisi, Maggie menghadiahkan set cat air Canson saja bagi para pemenang.
“Mereka sudah senang, kok, dapat cat yang bisa mereka pakai berkarya. Lagi pula tujuan kegiatan ini mewadahi mereka. Asalkan dapat exposure, sepertinya sudah jadi langkah awal bagi eksistensi mereka.”
Baca juga: Koneksi Internet, Kunci Utama Misi Maggie
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah