Cerita-cerita roman masa kini masih sering mengakhiri kisahnya dengan adegan di depan altar atau penghulu. Seolah perkawinan adalah pencapaian tertinggi bagi pasangan yang sedang dilanda cinta, dan cerita berakhir di situ—setelah menikah, keduanya (dijamin) hidup bahagia selama-lamanya.
Padahal, hasil survei di banyak negara mengungkapkan, angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun. Data terbaru Kementerian Sosial RI, ada lebih dari 191 ribu kasus perceraian per tahun di Indonesia. Dengan berbagai alasan, kini orang lebih gampang memutuskan untuk bercerai. Perceraian juga tak lagi dianggap aib oleh masyarakat. Janda, duda, dan anak-anak produk perceraian tak mesti mengalami kompleks psikologis di tengah masyarakat dan pergaulan.
Hasilnya adalah sebuah ironi. Seperti juga perselingkuhan, orang-orang yang bisa bertahan untuk tidak berselingkuh atau bertahan untuk tidak bercerai justru dianggap ‘hebat’. “Setiap perkawinan—apalagi bila sudah berlangsung puluhan tahun—pasti pernah melewati masa-masa sulit dan penuh kerikil,” kata Ira Puspitasari, psikolog dari Universitas Gunadarma, Depok. Kerikil itu tak harus yang kelas berat seperti perselingkuhan atau KDRT.
Tapi bisa juga karena jenuh, tak punya greget lagi, kehilangan respek, dan sebagainya. Seperti kata penulis Amerika Joan Didion, di tahun-tahun awal pernikahan, kita bertengkar karena belum saling memahami. Tapi di tahun-tahun sesudahnya, kita bertengkar justru karena telah saling memahami. Lama perkawinan pun tidak menjamin pasangan akan terbebas dari perceraian. Saat ini, perceraian pada pasangan usia lanjut juga makin banyak terjadi.
Namun, seperti juga banyak alasan untuk bercerai, ada banyak pula alasan untuk mempertahankan perkawinan. “Mulai dari nilai-nilai yang tertanam tentang perkawinan dan keutuhan keluarga, hingga daya tahan seseorang dalam menghadapi masalah. Karena, berat-ringannya masalah dalam perkawinan sifatnya relatif,” Ira menambahkan. “Orang yang berasal dari keluarga bercerai, misalnya, biasanya akan lebih mudah untuk memutuskan bercerai dibandingkan orang yang di keluarga besarnya memang jarang terjadi perceraian.”
Ada yang tak mau bercerai karena dilarang oleh agama. Ada yang meyakini bahwa sebuah keluarga sebaiknya tetap utuh agar anak-anak bisa berkembang dengan baik. Tapi ada juga yang memilih bertahan karena faktor ekonomi atau untuk mempertahankan status. Pendek kata, ada 1001 alasan, dari yang rasional hingga yang paling tidak masuk akal, misalnya diiming-imingi masuk surga. “Namun, bertahan tapi menderita jelas bukan solusi yang bijaksana, karena bisa merusak kesehatan fisik dan mental,” Ira menegaskan.
Tapi, bila Anda memutuskan untuk bertahan, apa pun alasan Anda, banyak keuntungan yang bisa dipetik dari sebuah pernikahan sebagai sebuah institusi resmi agama dan negara. “Banyak hak istimewa dan perlindungan yang diberikan oleh negara (dan agama) kepada masyarakat melalui perkawinan—yang resmi, tentunya. Mulai dari tunjangan hidup dan tunjangan kesehatan bagi pasangan resmi dan keturunannya (terutama bagi pegawai negeri), hak waris yang jelas, dan berbagai perlindungan hukum. Keuntungan-keuntungan itu tidak bisa kita dapatkan bila kita berada di luar pernikahan.
“Dan secara psikologis, hidup dalam pernikahan juga membuat kita bisa menemukan diri kita secara utuh. Secara individual kita tidak sempurna, dan pasangan kita akan menyempurnakannya,” kata Ira.
[Baca juga tentang kunci bertahan menghadapi siklus perkawinan]