Banyak orang tetap ingin menikah. Namun angka perceraian terus meningkat. Begitu sulitkah mempertahankan pernikahan sekarang?
“Waktu memutuskan menikah 21 tahun lalu, meskipun menikah atas nama cinta, harapan saya tidak muluk-muluk. Tak seperti teman-teman perempuan saya yang membayangkan perkawinan langgeng sampai kakek-nenek dan berniat menikah sekali seumur hidup, saya justru mematok target yang sangat rasional: ‘Sekuatnya saja’. Saya tak sudi bertahan dalam perkawinan kalau hati saya terus tersiksa atau harga saya dilecehkan,” cerita Yasmin*, 47, senior account executive, ibu dua anak.
Nyatanya, perkawinan Yasmin justru bertahan sampai sekarang, meskipun bukan berarti bebas dari kerikil. Bisnis Anton*, suaminya, pernah bangkrut karena tertipu. Saat itu, Yasmin harus mengambil alih peran sebagai pencari nafkah utama selama lima tahun, dan mereka harus menjual rumah dan tinggal di rumah orang tua Anton. Celakanya, ibu mertua Yasmin lantas bolak-balik menyindir Yasmin yang sering pulang malam dan dianggap tidak mengurus suami dan anak-anaknya dengan baik.
Lama-lama Yasmin naik darah, lalu ngotot keluar dari rumah mertua dan mengontrak rumah sendiri. Melihat itu, ibu mertuanya makin marah-marah. “Duh, kalau diingatingat lagi, rasanya waktu itu saya sudah nggak tahan,” kenang Yasmin. Tapi untunglah Anton mendukung keputusan istrinya. Kini, bisnis Anton sudah bangkit kembali dan Yasmin tak perlu lagi banting tulang menjadi breadwinner.
“Sejak sebelum menikah, saya sudah bilang kepada Anton bahwa saya tidak akan pernah menolerir kalau dia berselingkuh atau memukul saya. Sejauh ini dia tidak pernah melanggar dua hal itu. Mungkin itu yang membuat saya bertahan,” kata Yasmin.