Selama di Myanmar, saya selalu menantikan telepon dari seorang gadis Burma yang berkenalan di depan patung Reclining Buddha di Bago. Ia baru saja memiliki ponsel dan selalu menelepon setiap pukul 8 pagi. Sampai sekarang, saya tidak tahu apa saja yang telah diobrolkan. Ia tak bisa berbahasa Inggris sama sekali, sedangkan saya tidak sedikit pun bisa Bahasa Burma.
Manusia butuh berkomunikasi. Bahasa dan teknologi hanyalah perangkat, yang utama adalah kesediaan melungkan waktu untuk memahami. Saking inginnya berbicara lewat ponsel yang saat itu merupakan barang baru di Myanmar, perbedaan bahasa tak menjadi persoalan untuknya. Saya biasa menanggapi dengan bahasa Inggris-Indonesia, sesekali Jawa.
Windy Ariestanty | Windyariestanty.com