3. Berani melawan arus
Memulai bisnis yang masih langka tentunya menantang. Shinta Dhanuwardoyo memulai perusahaan desain web bernama Bubu.com pada 1996, saat itu orang-orang di Indonesia masih belum familiar dengan fungsi internet. Shinta harus kerja dua kali lipat.
Pertama, ia harus menjelaskan apa itu internet kepada klien. Kedua, ia menjelaskan tentang website. Tantangan lainnya adalah sulit mencari karyawan karena banyak orang tidak mengerti bisnis yang ia jalani. Saat itu programmer juga masih sangat jarang di Indonesia. Di tahun 2006, usahanya berkembang menjadi menjadi digital agency. Selain berkutat mengurus usahanya, Shinta berperan sebagai investor dan mentor bisnis bagi pengusaha start up sejak 2012. Di dunia IT yang didominasi pria, Shinta tak gentar. “Yang penting kita bisa kasih liat bahwa we know how to do this, we can do this, and we can run it. Seharusnya sama saja antara laki-laki dengan perempuan,” kata Shinta.
Mungkin jika saat itu Shinta menyerah pada keadaan, kita tak akan melihat sosoknya yang mengagumkan. Ia tak akan masuk sebagai satu-satunya finalis dari Indonesia yang masuk ke ajang penghargaan Telstra Business Woman in Asia Award yang digelar di Melbourne, Australia pada 2016.
Shinta merupakan salah satu pionir perusahaan berbasis internet pertama di Indonesia, koneksi yang ia miliki bahkan menjangkau ke Sillicon Valey. Perusahaan teknologi asing yang ingin masuk ke Indonesia biasanya mencari Shinta untuk memberi masukan, di antaranya adalah Facebook dan Apple.
4. Memaksimalkan potensi diri
Pada era 90-an, Christy Turlington dikenal sebagai model top. Di puncak ketenarannya Christy malah mundur dari dunia modeling. Ia melanjutkan studi di jurusan Perbandingan Agama dan Filsafat Timur di Gallatin School of Individualized Study of New York University pada tahun 1994. Kemudian tahun 2009, ia melanjutkan pendidikan di bidang kesehatan masyarakat untuk meraih gelar Master di Columbia University’s Mailman School.
Proses kelahiran Grace—anak pertama Christy—dilalui dengan susah payah. Ia mengalami pendarahan pasca melahirkan yang membuatnya kehilangan banyak darah. Tanpa ditangani oleh dokter yang kompeten, bisa saja pada saat itu Christy kehilangan nyawanya.
Karena itu, Christy mendirikan sebuah organisasi nirlaba bernama Every Mother Counts pada tahun 2010 yang berjuang meningkatkan kepedulian masyarakat pada isu kematian wanita selama kehamilan dan melahirkan. Tak hanya menggalang dana, Christy juga membuka kesadaran masyarakat lewat film garapannya. Di tahun 2010, Christy menyutradarai film dokumentar berjudul “No Woman, No Cry”. Di tahun 2015, ia menyutradarai film dokumenter pendek berjudul “Every Mile, Every Mother“.
Profesi sebagai model tak pernah lepas dari dirinya. Meski sempat berhenti jadi model, ia masih terikat kontrak-kontrak jangka panjang. Semua sorotan itu digunakan Christy untuk meraih perhatian pada organisasi bentukannya. Pada 2014 lalu, Christy dan suaminya, Edward Burns, menjadi model untuk iklan parfum Eternity keluaran Calvin Klein yang sebagian hasil penjualannya disumbangkan untuk organisasinya.
Terbukti bahwa usia yang matang tak membuatnya ciut mengadu kebolehan berpose. Dua tahun lalu di usia 44 tahun, Christy menjadi model pakaian dalam Calvin Klein. Dulu ia memang pernah juga menjadi model pakaian dalam Calvin Klein, tapi di usia 19 tahun! “Semua orang sangat anti pada penuaan, tapi saya tidak mau terlihat lebih muda dari yang seharusnya,” ungkap model yang pernah tampil di lebih dari 500 sampul majalah ini.
Foto: Zaki Muhammad, koleksi pribadi