Bias gender dan ketidaksetaraan gender merupakan fenomena universal dalam sejarah peradaban manusia di seluruh dunia.
Secara tradisional, manusia di seluruh dunia tertata dalam hubungan masyarakt patriarkis, yaitu pria diposisikan superior terhadap wanita. Sejarah bias gender dan ketidaksetaraan berawal pada masyarakat pemburu, ketika wanita dianggap tidak punya peran dalam kegiatan perburuan. Kalaupun berada di lokasi perburuan, perannya dianggap tidak ada.
Hingga kini pun ketika teknologi berkembang begitu pesat, ketika wanita memiliki akses di bidang pendidikan yang sama dan setara dengan pria, bias gender (anggapan bahwa wanita memiliki sifat pemelihara dan rajin, tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, yang berakibat semua pekerjaan domestik adalah tanggung jawab wanita) masih terus bertahan.
Bias gender ini selanjutnya menciptakan ketidaksetaraan gender yang terjadi hampir di semua lini kehidupan dan institusi. Di dalam rumah tangga, di dunia pendidikan, praktik jurnalisme, dan lain-lain. Sedikitnya wanita yang menjadi pemimpin parpol, birokrasi dan parlemen, merupakan wujud ketidaksetaraan gender.
Jika dikembalikan kepada diri sendiri, apakah kita, wanita, tetap ingin mengabadikan bias dan ketidaksetaraan ini? Kalau tidak, banyak cara bisa kita lakukan untuk mengikis bias dan ketidaksetaraan gender.
1. Bangun kesadaran diri melalui bacaan, diskusi, atau mengikuti aktivitas kesetaraan gender. Urusan ini bukan semata urusan wanita. Tidak mungkin perubahan bisa terjadi bila pria tidak terlibat. Wanita bisa dilatih untuk aktif dan berani mengambil keputusan, dan pria harus dilatih untuk menghargai kemampuan wanita sebagai mitra untuk maju.
Salah satu cara untuk mengadakan perubahan adalah dengan berbicara, mengungkapkan adanya tekanan dan diskriminasi. Terapkan kesadaran ini dalam keseharian Anda, ketika Anda mendidik anak perempuan dan anak laki-laki Anda.
2. Stop stereotip. Seberapa sering kita mendengar ini: "Kalau nyupirnya ngawur biasanya perempuan." Atau, "Maklum, perempuan, kan, memang gaptek." Jangan-jangan kita sendiri yang mengucapkan itu. Perubahan dimulai dari diri sendiri. Jangan mau jadi wanita gaptek, atau sembarangan saat mengemudi. Tahan mulut kita untuk mengucapkan kalimat yang stereotip.
3. Menandai adanya bias gender. Bukan berarti bahwa wanita dan pria harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai wanita atau pria. adari adanya bias ini, dan bila terjadi bias gender di sekolah misalnya, kita dapat segera memberitahu hal ini kepada pihak sekolah.
4. Mendefinisi ulang status quo. Ketidakadilan gender tidak bisa dibiarkan. Ada beberapa hal harus kita sadari bahwa ketidakadilan itu bisa saja terjadi di dalam keluarga, dan kita harus bisa mengubahnya.
• Marginalisasi, seperti melarang istri untuk ikut berperan mencari nafkah, yang akibatnya istri menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga.
• Subordinasi, yaitu menempatkan istri pada posisi kelas dua dan tidak penting, dan tidak dilibatkan dalam keputusan penting dalam rumah tangga karena dianggap tidak cakap memimpin.
• Kekerasan, seperti serangan terhadap fisik maupun mental. Dalam keluarga bisa berupa pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi kepada istri.
• Beban kerja ganda, misalnya saja istri diizinkan ikut mencari nafkah dengan syarat bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dan semua urusan rumah/anak harus beres. Sementara pria tidak mau memikul tanggung jawab yang sama untuk urusan domestik.
5. Menarik keluar ketika perempuan dikucilkan. Kalau Anda pernah mengalami kesulitan mengajak sahabat Anda untuk hadir dalam acara reuni karena dilarang suami, Anda boleh membantunya untuk keluar.