Siang itu kami melintasi ruang dan waktu: Menilik ke belakang, dan berharap pada masa depan. Semua bermuara pada pemaknaannya tentang akting.
Bagi Oka Antara, yang terpenting dari tiap peran adalah bisa memberinya pengalaman baru dalam berakting. Ia tak mau menampilkan sesuatu yang serupa pada para pemirsanya. Ia tak mau terbelenggu dalam cerita-cerita yang sama, atau peran-peran serupa. Lewat akting, ia ingin memutakhirkan dirinya.
Saya masih ingat perannya sebagai Rasus dalam film Sang Penari (2011)—dengan logat kental Banyumas, serta sosok seorang pemuda dukuh yang berubah gagah dalam balutan seragam militer. Dari film inilah, Oka memahami cara menampilkan karakter berlogat tanpa terlihat sedang melucu.
Film Mencari Hilal (2015) juga memberinya kepuasan tersendiri. Di sana ia memerankan tokoh Heli, aktivis lingkungan yang ideologinya berseberangan dengan ayahnya yang religius. Kata Oka, ia sendiri yang menginginkan peran itu karena tertarik pada ceritanya. “Waktu itu sutradaranya menawarkan dua cerita, dan saya pilih yang itu, karena ceritanya bisa related ke banyak orang,” kenangnya ringan.
Perannya di film ini membuatnya diganjar penghargaan Pemeran Pembantu Pria terbaik di Indonesian Movie Actors (IMA) Awards 2016. Tapi sebenarnya, bagi pria kelahiran Jakarta, 8 Juli 1981 ini, penghargaan bukan tujuan utamanya. “Saya senang karena merasa terapresiasi, tapi yang penting saya bisa menampilkan sesuatu yang baru itu, agar saya dan penonton tak bosan.”
Kalau soal menampilkan yang terbaik, rasanya Oka adalah salah satu aktor yang tak pernah main-main. Ayah tiga anak ini juga sempat beradu akting dengan Atiqah Hasiholan, Ibnu Jamil, dan Jajang C. Noer di layar kaca. Di komedi situasi OK-Jek ini, Oka belajar berimprovisasi. Ia juga menganggap serius ketika diajak menjadi MC siaran langsung yang digelar sebuah stasiun swasta akhir September lalu.
Ketika ditanya apa hal paling penting dalam akting, jawabannya adalah keharusan untuk bersikap obsesif dan fokus. Masalahnya, ia kerap lupa banyak hal kalau sudah berkaitan dengan passion-nya berakting. “Lupa membalas pesan dari orang tua yang menanyakan kabar saya, lupa juga mengabari istri, bahkan sampai lupa makan!”
Akting baginya bagai kehidupan. Ada masa ketika ia begitu menggebu-gebu mengerjakan sebuah proyek film, tapi ada juga waktu saat hasratnya melesu. Meski begitu, ketika ia mulai mengerjakan proyek baru, rasanya tak sulit untuk menemukan cengkeraman yang pas. Soal naik-turunnya dorongan ini, Oka berkomentar santai. Katanya, “Nggak apa-apa, sih, begitu. Bisa nggak waras nanti kalau nge-gas terus.”
Sadar akan hal ini, juga kecenderungannya lupa-segala, ia menemukan penyeimbang yang menjaga kehidupannya tetap waras. “Kalau buat saya, sih, penyeimbangnya keluarga. Kalau nggak ada mereka, sepertinya saya bisa nggak waras, deh,” katanya berefleksi, diikuti tawanya yang riang.
Diajak melangkah mengintip masa depan, Oka Antara punya harapan sederhana soal ini. Ia ingin pensiun sebelum usia 50 tahun, dan melihat lebih banyak lagi sudut-sudut di dunia yang bisa ia kunjungi. Untuk jangka pendek, lagi-lagi keinginannya adalah untuk meng-upgrade dirinya. Misinya kali ini akan segera dieksekusi lewat proyek film (detailnya masih top secret!) yang mulai diproduksi awal tahun depan.
Sebelum itu terjadi, dalam waktu dekat film Jakarta Undercover yang dibintanginya juga akan rilis. Film ini diangkat dari buku non-fiksi yang ditulis oleh Moammar Emka berjudul sama yang populer tahun 2003. Ceritanya mengangkat sisi lain Jakarta, beserta kehidupan orang-orang yang baru ‘terbit’ setelah matahari terbenam. Dari film religi, ke film pergaulan malam? Ia pun memungkasi, “Kenapa nggak? Harus begitu supaya ter-update. Kalau kata anak zaman sekarang, biar kekinian!”
Foto: Dachri M.S
Pengarah gaya: Dian Primasari