Sofiani Suciwulandari Agustine awalnya tidak merencanakan akan berbisnis sepatu. Pada 2007, setelah mengundurkan diri dari perusahaan otomotif, ia justru merintis bisnis perhiasan. Wanita yang akrab disapa Sofie ini mendesain sendiri perhiasan tersebut.
Lima tahun berselang, pada 2012, perubahan terjadi. Sofie mendapat kesempatan mengikuti tender penyediaan alas kaki. Jika tembus, ia akan menerima pesanan sebanyak dua kontainer, untuk dikirim ke Prancis. Kala itu Sofie bekerja sama dengan seorang teman yang memang produsen sepatu. Namun karena sang mitra berhalangan menyiapkan sample yang dijanjikan, ia terpaksa membentuk tim sendiri—meski akhirnya kalah tender juga.
Perempuan pebisnis sepatu handmade ini merasa sayang jika tim yang telanjur terbentuk bubar begitu saja. Ia pun mulai memproduksi sepatu clogs dan wedges batik dengan label D’Arcadia Treasure (d.a.t). Saat itu ia mempekerjakan tiga perajin sepatu di Tasikmalaya. Dan usaha tersebut membuahkan hasil.
Saat mengikuti sebuah pameran, Zalora Indonesia tertarik dan meminta d.a.t mensuplai barang. Tak disangka, permintaan berangsur membludak. Perajin yang awalnya hanya tiga orang bertambah menjadi 40 orang—terutama setelah d.a.t memproduksi flat shoes pada September 2012. Namun, ia bertemu tantangan lain.
Jarak antara Bogor dan Tasikmalaya adalah tantangan tersendiri bagi Sofie. Hal tersebut merupakan kendala dalam proses produksi. Akhirnya, pada 2014, Sofie dan kedua partnernya, Yudita dan Dinastudy, memutuskan memindahkan semua produksi ke Bogor (tepatnya ke daerah Bojongnangka Gunung Putri).
“Kesulitannya adalah mereka terbiasa bekerja dengan kuantitas besar untuk bersaing dengan barang impor,” kenang Sofie. Untuk itu, Sofie berusaha memaksimalkan setiap kemampuan perajin yang berbeda-beda untuk saling bekerja sama, dibandingkan harus memberikan uraian pekerjaan panjang pada tiap perajin yang belum tentu menguasai setiap detail pekerjaannya.
Hal lainnya, Sofie selalu menekankan agar setiap pekerja berfokus pada kepuasan pelanggan. Sofie menerapkan mekanisme untuk mengontrol kualitas dalam rantai produksi. Ketika mendapat komplain, barang harus dikembalikan dan diperbaiki oleh bagian yang mengerjakan sebelumnya. “Setiap orang juga memiliki kode masing-masing di setiap sepatu, yang dicatat oleh admin,” jelas Sofie. Jadi, jika ada sepatu yang dikembalikan oleh end user, Sofie bisa cek cacatnya ada di mana, dan kode itu akan membantu menemukan siapa yang bertanggung jawab.
Sistem produksi yang matang dan kontrol yang ketat membuat Sofie percaya diri memasarkan produknya hingga ke Malaysia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Khusus di AS, d.a.t memiliki kantor perwakilan global resmi. Sebagian produk yang dijual di AS hanya dijual di Alun-Alun Grand Indonesia.
Di Indonesia, selain menitip jual ke berbagai department store di Jakarta, Bandung, Surabaya, Pontianak, dan Makassar, Sofie mengandalkan distributor individual. “Penjualan distributor sangat kencang karena mereka menguasai jaringan yang luas serta media sosial. Untuk pemanfaatan teknologi, d.a.t berkolaborasi dengan digital agency,” Sofie menjelaskan.
Pada 2017 ini, d.a.t berencana fokus untuk pasar Jepang. Sofie juga ingin agar d.a.t tak lagi menjadi UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Ia ingin produk lokal ini bisa naik kelas. “AS dan Jepang akan menjadi standar untuk kurasi produksi kami ke depan,” katanya mantap.
Foto: Denny Herliyanso
Pengarah gaya: Erin Metasari