Rambutnya yang sudah setengah memutih dan perut yang tidak lagi rata tak banyak memengaruhi penampilan pria 53 tahun ini. Di mata saya, ia malah terlihat makin ganteng. Sore itu, di rumahnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Tio menerima kami dengan ramah, meski sedang kurang sehat.
“Mungkin kecapekan. Saya baru saja pulang dari Dieng, Jawa Tengah, selama dua minggu, syuting film terbaru saya,” katanya, mengacu pada film berjudul “Surat Untukmu”. Dalam film itu, ia berperan sebagai laki-laki yang istrinya menghilang tanpa kabar, dan dengan berbagai cara berusaha menemukan sang istri.
Tio Pakusadewo adalah satu dari sedikit aktor yang bisa tetap eksis di usia yang tak lagi muda. Umumnya, sebagaimana di roda industri lain, para aktor senior akan tergeser oleh munculnya bintang-bintang baru. Para aktor senior pun akan mulai mengambil peran-peran pendukung, sebagai ayah atau seorang kakek, misalnya. Tetapi tidak dengan Tio. Ketika banyak aktor-aktor kawakan meredup, Tio tetap berkilau.
Tio merasa beruntung karena hingga kini masih bisa memilih peran-peran menantang. Dalam film “Identitas” (2009), misalnya, ia berperan sebagai perias jenazah. Peran itu membuahkan Piala Citra keduanya. Contoh lain adalah di film “I Am Hope”, ia berperan sebagai ayah seorang penderita kanker.
Belakangan, perannya dalam film “Surat dari Praha”, yang belum lama ini tayang di bioskop nasional, juga mendapat sambutan positif. Dalam film itu, Tio memerankan pria Indonesia yang menjadi eksil di Ceko sejak pecahnya peristiwa 1965. Begitu dahsyatnya akting Tio di film tersebut, sehingga banyak yang memprediksi ia bakal mengantongi Piala Citra ketiganya.
Gemilang karier Tio di dunia seni peran tentu takkan terjadi tanpa keseriusan, ketekunan, dan motivasi (Tio masih punya mimpi besar untuk menyabet Piala Oscar!). Bagaimanapun, hal itu tidak terjadi secara serta merta. Kesadaran itu baru muncul setelah namanya masuk nominasi Piala Citra untuk kategori pemeran utama dalam dua film berturut-turut pada 1991: “May” dan “Lagu untuk Seruni” (film terakhir berhasil memberikannya Piala Citra pertamanya).
“Setelah menang, saya seolah ditantang untuk menjalani profesi ini secara serius. Padahal, sebelumnya saya hanya melihat dunia akting secara light. Bisa terkenal, punya duit banyak dan bisa ciumin cewek-cewek cantik,” katanya, nyengir.
“Apa ada profesi lain yang lebih asyik daripada aktor?” tanyanya. “Bisa menghidupkan kembali orang-orang yang sudah meninggal, atau memberi nyawa untuk tokoh-tokoh fiktif adalah bagian dari keasyikan itu. Lagi pula, ketika menjadi aktor, tidak ada kata pensiun.”
Sore itu, Tio menjalani sesi pemotretan di hadapan sebuah grand piano. Sesekali, jemarinya memainkan irama mellow dari beberapa tembang lawas. Di dinding belakang, tergantung sebuah lukisan hasil karyanya. Lukisan itu menggambarkan wajah manusia—separuh laki-laki, separuh perempuan. “Itu wajah saya dan wajah istri saya,” ia menjelaskan.
Pasti dilukis ketika sedang jatuh cinta, ya? Saya memancing. Dia tertawa kecil, lalu mendatangi istrinya, Yvone Ligaya Simorangkir, yang sedang duduk di ruang tamu. Ia mengelus rambut sang istri yang sedang sibuk dengan laptop, kemudian mengelus dagunya. “Saya dan istri selalu jatuh cinta,” katanya, yang lantas disambut tawa renyah sang istri. “Dia sedang berakting, tuh,” timpal sang istri.
Terlepas dari dunia akting, perhatian Tio saat ini memang tercurah kepada sang istri yang terkena kanker. “Saya mendampingi dia selama enam bulan kemoterapi di Singapura. Saya menangis ketika tahu dia divonis kanker, meski tidak di depan dia,” katanya lirih. Kini, me-time favoritnya adalah mendampingi sang istri sesering yang ia bisa.
[Baca juga tentang profesi akting dalam perspektif Ray Sahetapi]
Foto: Zaki Muhammad