Aktor pria pemeran Satrio dalam Catatan (Harian) si Boy (2010) ini mengaku bukan orang yang bisa betah berlama-lama duduk di bangku kelas formal."Misalnya di kelas matematika, i understand it, but it's boring for me," katanya mencontohkan. Bayu muda pun memilih hengkang dari kuliah bisnisnya di Selandia Baru dan kembali ke akarnya di Indonesia untuk berakting. "Setelah itu apa? Yah, we'll see what happen. Cukup gambling tapi ini yang saya mau," ujar Bayu.
Taruhannya tak sia-sia -kini ia seorang aktor."Saya sudah terpikir untuk berakting sejak umur 16, waktu itu saya pentas teater di sekolah," ujarnya mantap. Tempo bicaranya cepat, intonasinya meyakinkan, dan selalu terselip bara semangat kalau bicara soal akting dengannya. Tak jarang Bayu berefleksi menengok pikiran-pikirannya dulu soal masa depan. Ia pun merasa sebagai salah satu orang paling beruntung di dunia, karena bisa menjalankan panggilan hatinya.
Publik mengenal Ario Bayu lewat peran karismatiknya sebagai sang proklamator dalam film Soekarno (2013). Bergelora menggemakan semangat juang, tapi juga merayu hati saat beradegan romantis. Di tahun yang sama, ia juga tampil bersama nama-nama asing dalam Dead Mine dan Java Heat. Yang terakhir itu namanya bahkan sering disebut-sebut karena keterlibatan Kella Lutz, pemeran Emmet Cullen dalam Twilight (2008), di dalamnya. Sederet filmografi, berbagai peran. Saya sendiri pertama kali melihat aktingnya saat berperan sebagai Eros, sosok polisi homoseksual dalam film Kala (2007).
"Waktu itu sampai ada yang tanya apakah saya seorang gay, yang sepertinya waktu itu saya iyakan," ia tertawa, tampak takjub. Bukan apa-apa, baginya itu terdengar sama seperti ketika Anda bertanya kepada para Superman apakah mereka bisa terbang. Well, kalau bagi saya, bisa saja pertanyaan ini sekadar perwujudan rasa kagum penonton atas aktingnya yang begitu meyakinkan -dan memang begitulah rasanya! Ia seperti punya pemahaman sendiri soal kuncinya berakting yang membuat penampilannya terlihat nyata. "Kita semua manusia, dan tugas saya adalah memahami kondisi manusia yang saya perankan tanpa menghakimi dan berprasangka soal hitam atau putih. That's life," jelas Bayu.
Ia mencontohkan peran barunya sebagai Juragan di serial televisi HBO Asia karya Joko Anwar berjudul Halfworld (2015). Juragan bukan orang baik, tapi juga bukan penjahat."Kalau ia harus membunuh untuk menjalankan tugasnya, ya, maka saya akan akan membunuh. Juragan hanya melakukan perannya sebagai penjaga keseimbangan antara dua dunia."
Dalam hidup ini, Bayu belum puas karena rasanya sukses belum diraih. Impiannya adalah punya rumah dengan lahan yang bisa ia pakai untuk bercocok tanam. "Sukses itu adalah saya bisa punya my own sanctuary. Sederhana, dan menyenangkan," katanya menyimpulkan. Di saat yang sama, sebenarnya ia merasa ironis, sebab orang sering bersusah payah mengejar banyak hal demi sebuah kesederhanaan.
Hari makin sore dan pengagum Albert Einstein ini punya agenda lain yang harus dilakukan. Saya pun melontarkan pertanyaan terakhir soal kemungkinan melihatnya berakting dalam film bergenre komedi atau komedi romantis. "Of course. I challenge the directors and producers!" jawabnya riang, masih dengan cara bicaranya yang khas. Bisa jadi ia juga terkesan selalu bergegas karena kecepatannya bicara dan beropini. Mungkin memang begitulah Ario Bayu, yang selalu punya alasan -dan tujuan-sendiri untuk bergegas.
Taruhannya tak sia-sia -kini ia seorang aktor."Saya sudah terpikir untuk berakting sejak umur 16, waktu itu saya pentas teater di sekolah," ujarnya mantap. Tempo bicaranya cepat, intonasinya meyakinkan, dan selalu terselip bara semangat kalau bicara soal akting dengannya. Tak jarang Bayu berefleksi menengok pikiran-pikirannya dulu soal masa depan. Ia pun merasa sebagai salah satu orang paling beruntung di dunia, karena bisa menjalankan panggilan hatinya.
Publik mengenal Ario Bayu lewat peran karismatiknya sebagai sang proklamator dalam film Soekarno (2013). Bergelora menggemakan semangat juang, tapi juga merayu hati saat beradegan romantis. Di tahun yang sama, ia juga tampil bersama nama-nama asing dalam Dead Mine dan Java Heat. Yang terakhir itu namanya bahkan sering disebut-sebut karena keterlibatan Kella Lutz, pemeran Emmet Cullen dalam Twilight (2008), di dalamnya. Sederet filmografi, berbagai peran. Saya sendiri pertama kali melihat aktingnya saat berperan sebagai Eros, sosok polisi homoseksual dalam film Kala (2007).
"Waktu itu sampai ada yang tanya apakah saya seorang gay, yang sepertinya waktu itu saya iyakan," ia tertawa, tampak takjub. Bukan apa-apa, baginya itu terdengar sama seperti ketika Anda bertanya kepada para Superman apakah mereka bisa terbang. Well, kalau bagi saya, bisa saja pertanyaan ini sekadar perwujudan rasa kagum penonton atas aktingnya yang begitu meyakinkan -dan memang begitulah rasanya! Ia seperti punya pemahaman sendiri soal kuncinya berakting yang membuat penampilannya terlihat nyata. "Kita semua manusia, dan tugas saya adalah memahami kondisi manusia yang saya perankan tanpa menghakimi dan berprasangka soal hitam atau putih. That's life," jelas Bayu.
Ia mencontohkan peran barunya sebagai Juragan di serial televisi HBO Asia karya Joko Anwar berjudul Halfworld (2015). Juragan bukan orang baik, tapi juga bukan penjahat."Kalau ia harus membunuh untuk menjalankan tugasnya, ya, maka saya akan akan membunuh. Juragan hanya melakukan perannya sebagai penjaga keseimbangan antara dua dunia."
Dalam hidup ini, Bayu belum puas karena rasanya sukses belum diraih. Impiannya adalah punya rumah dengan lahan yang bisa ia pakai untuk bercocok tanam. "Sukses itu adalah saya bisa punya my own sanctuary. Sederhana, dan menyenangkan," katanya menyimpulkan. Di saat yang sama, sebenarnya ia merasa ironis, sebab orang sering bersusah payah mengejar banyak hal demi sebuah kesederhanaan.
Hari makin sore dan pengagum Albert Einstein ini punya agenda lain yang harus dilakukan. Saya pun melontarkan pertanyaan terakhir soal kemungkinan melihatnya berakting dalam film bergenre komedi atau komedi romantis. "Of course. I challenge the directors and producers!" jawabnya riang, masih dengan cara bicaranya yang khas. Bisa jadi ia juga terkesan selalu bergegas karena kecepatannya bicara dan beropini. Mungkin memang begitulah Ario Bayu, yang selalu punya alasan -dan tujuan-sendiri untuk bergegas.
Foto: Dennie Ramon
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah