![](https://www.pesona.co.id/img/images/Bersaing%20Dengan%20Pria.jpg)
"Lu jual, gue beli!"
"Ngajak berantem, nih? Gue layanin!"
Kalimat-kalimat di atas memang khas dunia pria. Semacam aturan main dengan aroma testosteron yang kental, tak tertulis, tapi dipahami oleh semua pria. Kuat-kuatan otot, keras-kerasan suara, adu gengsi, saling gertak, tak sudi kelihatan kalah atau takut di hadapan 'lawan', dan selalu ingin jadi pemenang -baik diucapkan secara terang-terangan atau ditutupi dengan sikap cool dan penampilan sophisticated -memang bagian dari permainan di kalangan pria. Setidaknya, itulah yang diungkapkan oleh Rene Soehardono, konsultan karier sekaligus pengamat dan penggerak inisiatif sosial.
Menurut Rene, boy's game seperti itu sangat jamak di lingkungan atau bidang pekerjaan yang didominasi pria. Sebut saja politik, militerm hukum (khususnya pengacara litigasi), bisnis pertambangan/migas, dan sebagainya. Tidak bisa dibilang bahwa boy's game itu buruk atau baik, tapi memang begitulah gaya bermain di kalangan pria. Tak heran bila wanita biasanya lebih suka menjauh dari lingkungan seperti itu. Selain karena tak tahan dengan 'keberisikannya', mereka tak ingin menjadi korban intimidasi.
Lantas, bagaimana bila wanita memilih untuk terjun ke dunia yang penuh testosteron ini?
Tak perlu 'menjadi pria'
Meskipun kini semua bidang pekerjaan sudah dimasuki wanita dan kesetaraan gender giat digaungkan di mana-mana, faktanya, ada beberapa bidang yang masih sangat male-dominated -dan celakanya, bidang-bidang itu justru bersifat strategis, seperti bisnis, politik, hukum, dan militer. Padahal, menurut Rene, ketimpangan gender inilah yang menyebabkan dunia selalu gonjang-ganjing, tak pernah damai, dan perkembangan ekonomi negara jadi tersendat.
"Pada dasarnya pria dan wanita diciptakan untuk saling menyeimbangkan. Menurut khitahnya, pria dituntut untuk menjadi pelindung, sedangkan wanita sebagai pemelihara. Keduanya sama penting dan diciptakan untuk saling mendukung -tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Tapi dalam perkembangannya, khitah sebagai pelindung pada diri pria banyak yang kebablasan menjadi keinginan untuk menguasai, apalagi juga didukung oleh agama dan konvensi masyarakat. Akibatnya, peran wanita -yang pada dasarnya tak menyukai agresivitas- cenderung tersingkir atau malah terintimidasi oleh pria," jelas Rene.Rene melihat, selama ini banyak wanita yang bekerja di bidang yang male-dominated, cenderung 'menjadi pria' agar mereka bisa survive menghadapi boy's game di sekelilingnya: ikut-ikutan menjadi agresif dan main keras supaya terkesan tegas, tidak bisa diremehkan, dan tidak menjadi korban intimidasi atau bahkan pelecehan seksual.
Rene bisa mengerti alasan itu,"Namun, menurut saya, sebaiknya wanita tak perlu ikut-ikutan menjadi pria. Wanita sebaiknya tetap tampil sebagai wanita -dengan segala kemampuan nurturing-nya sebagai penyeimbang. Karena, dengan memilih 'menjadi pria', keseimbangan itu justru tidak akan pernah tercapai. Mungkin awalnya memang sulit dan butuh waktu, tapi wanita harus percaya diri dan jangan gentar menghadapi intimidasi dari pria. Dengan begitu, keseimbangan gender di dunia kerja baru bisa tercapai.
Diskriminasi
Diwawancara melalui Live Q&A via Facebook World Bank pada 10 September 2015 lalu yang bertema How Does Discrimination Against Women Keeps Countries Poorer? Sri Mulyani Indrawati, Managing Director & COO World Bank menekankan bahwa wanita merupakan sumber daya ekonomi yang sama pentingnya dengan pria dalam mengembangkan perekonomian suatu negara.
Faktanya, perekonomian negar-negara yang mendiskriminasikan wanita, termasuk di dunia kerja, kebanyakan sulit berkembang. Bahkan kini sembilan negara sudah menerapkan hukum yang memberi manda (pada perusahaan-perusahaan) agar menempatkan beberapa wanita pada level board of directors, yaitu Belgia, Norwegia, Prancis, Jerman, Islandia, Israel, Italia, Spanyol, dan India (satu-satunya dari negara berkembang). Bahwa India sudah menerapkan hukum ini, tentu sangat menggembirakan.