Gerakan emansipasi dan kesetaraan gender terus digulirkan dari generasi ke generasi. Kini semakin banyak orang tua yang tidak lagi membedakan pendidikan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Akibatnya, kini laki-laki dan perempuan memiliki tingkat pendidikan yang seimbang, sehingga mereka dapat berkompetisi secara fair di dunia kerja. Tak sedikit wanita yang berhasil meraih pendidikan lebih tinggi ketimbang rekan prianya, sehingga kemudian berhasil meraih karier yang lebih tinggi di dunia kerja—dan dengan begitu mendapat penghasilan yang lebih tinggi pula.
“Kondisi ini biasanya belum menjadi masalah ketika laki-laki dan perempuan belum menikah. Malah banyak laki-laki yang senang-senang saja punya pacar lebih kaya bahkan merasa bangga,” ujar Dewi Dewo, konsultan perkawinan.
Tapi kondisi akan berubah begitu keduanya menikah. “Meskipun zaman sudah modern, nilai-nilai tradisional perkawinan sepertinya belum banyak berubah dalam masyarakat. Apalagi agama—agama apa pun—selalu menekankan posisi suami sebagai kepala keluarga, pencari nafkah, bahkan imam keluarga. Sedangkan tugas utama istri adalah mengelola rumah tangga dan mengurus anak, bukan mencari nafkah,” ujar Dewi.
Di sisi lain, makhluk bernama pria selamanya terkenal dengan egonya yang setinggi gunung. Ego inilah yang membuat mereka tak suka kalah dari wanita dalam segala hal. Bila suami gagal menjadi breadwinner bagi keluarga—malah tugas itu dipikul oleh istrinya—maka egonya akan terluka. Ego pria yang terluka ini bisa muncul dalam berbagai bentuk. Mulai dari sikap menarik diri, berlagak tak peduli (seperti Rafa), mengalami gangguan seksual (impotensi), hingga bersikap agresif kepada istri dan anak-anaknya seperti marah-marah atau memukul. Semua itu berasal dari perasaan gagal (sebagai suami dan pria) dan minder yang mereka rasakan. Seperti disebutkan Kate Ratliff, PhD, dari University of California. pria melihat kesuksesan istrinya sebagai kegagalannya sendiri.
Celakanya, istri yang terpaksa menjadi pencari nafkah utama keluarga, karena suaminya gagal mengambil peran itu—tak jarang juga mendramatisasi peran mereka. Sebagian ada yang menjadi arogan karena merasa lebih powerful. Ada pula yang justru merasa ‘teraniaya’ dan ‘kalah saing’ karena merasa terpaksa melakukan tugas yang bukan menjadi kewajibannya.
Situasi makin ruwet bila orang tua, keluarga besar, teman-teman, dan tetangga mengetahuinya lalu ikut campur atau bisik-bisik di belakang. Aduh, mau dikemanakan muka ini? Karena, seperti kata Kate Ratliff, berbeda dengan pria, wanita justru melihat kegagalan suaminya sebagai kegagalannya sendiri (dalam hal mencari nafkah). Ini juga, salah satu dari nilai-nilai tradisional perkawinan yang disebut Dewi Dewo belum berubah dalam masyarakat.