Gaji istri lebih tinggi ketimbang gaji suami? Kondisi klasik ini sudah ada sejak pertama kali wanita memasuki dunia kerja formal. Tapi, mengapa masih memicu konflik?
“Kalau mau beli itu, minta aja ke Mama. Kan, Mama duitnya banyaaaak….
Kalimat itu makin sering keluar saja dari mulut Rafa*, suami Rina*, setiap kali kedua anak remaja mereka minta dibelikan sesuatu kepada ayahnya. Intonasinya dingin dan ada nada sinis yang dibalut rasa pedih dan marah. “Bahkan belakangan ini dia tidak lagi mentransfer separuh gajinya ke rekeningku, seperti yang biasa dia lakukan sejak kami menikah,” ungkap Rina kepada saya ketika kami ngopi di sebuah kafe. Bahkan sekadar membayar tagihan listrik atau membeli gas saja ia tak mau turun tangan. “Buat apa menggarami laut? Nggak ada gunanya juga,” Rina menirukan jawaban suaminya ketika ia menanyakan kenapa Rafa tidak lagi menyetor gaji bulanannya.
Seingat Rina, perubahan drastis sikap suaminya itu terjadi sekitar 1,5 tahun yang lalu. Tepatnya setelah Rina diangkat sebagai chief executive di perusahaan sekuritas tempatnya bekerja. Gaji Rina, yang sejak awal memang lebih besar, kini makin jauh meninggalkan gaji Rafa yang bekerja sebagai dosen di dua universitas. Bahkan hampir tiga kali lipatnya.
Padahal, Rina mengaku, ia bukan tipe istri yang suka memamerkan gajinya, atau menuntut agar suaminya lebih giat mencari uang. Namun melihat Rafa sekarang malah seakan melepas tanggung jawabnya terhadap hampir seluruh kebutuhan keluarga dan membiarkan sang istri menanggungnya sendirian, akhirnya membuat Rina muak dan menganggap suaminya pecundang. Apalagi ketika ia tahu Rafa menggunakan seluruh gajinya untuk menikmati hobinya memancing di laut dan gonta-ganti gadget.
“Apa, sih, mau dia sebenarnya? Bukankah katanya suami itu imam keluarga?” cerita Rina hampir berteriak di depan saya.