Sebagian laki-laki di dunia ini masih ‘berbaju’ patriarki, memandang dirinya melebihi perempuan. Ibu harus jadi agen perubahan!
Di Amerika, 84% wanita dewasa mengaku pernah dilecehkan secara verbal saat berusia 17 tahun. Di Indonesia kondisinya setali tiga uang. Survei yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia—kelompok dukungan bagi penyintas kekerasan seksual—dan Magdalene.co bekerja sama dengan change.org, menunjukkan bahwa pelecehan secara verbal menjadi jenis kekerasan seksual paling umum terjadi.
LSI mencatat, dari 12.812 responden perempuan, 84% nya pernah mengalami pelecehan verbal. Sebanyak 70% pelaku adalah orang yang tidak dikenal.
Verbal harassment atau pelecehan (seksual) secara verbal adalah ucapan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk melecehkan perempuan. Bentuknya mulai dari siulan, kata-kata, dan komentar yang menyangkut tubuh perempuan. Karena menyangkut perempuan, hampir bisa dipastikan pelakunya adalah laki-laki.
Di Indonesia, hal itu dianggap wajar, padahal pelecehan verbal merupakan salah satu bentuk kekerasan. Saya yakin tak seorang pun di antara kita yang senang atau tidak marah mendapat siulan. Kalau rekan laki-laki di kantor bertanya, “Kamu hari ini pakai bra warna apa? Kemarin hitam, sekarang apa?” Sedekat apa pun relasi Anda, tetapi ketika ia mengarah pada tubuh Anda, bagaimana perasaan Anda?
Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPed., Psikolog dari Heartsprings Therapy Center, punya penjelasan mengapa laki-laki kerap melakukan pelecehan verbal. Menurut Diana, sapaan akrab Rosdiana, budaya patriarki—pria merasa punya power—juga membuat mereka merasa bebas men-judge orang. “Kombinasi budaya patriarki dan inferiority complex (rendah diri) hasilnya adalah pelecehan. Laki-laki beraninya kalau rame-rame. Kalau sendirian, kan, nggak berani,” kata Diana lagi.
Sependapat dengan Diana, Aflina Mustafaina dari Divisi Pemantauan Komnas Perempuan juga menyebut soal budaya patriarki. Sebagian laki-laki masih ‘berbaju’ patriarki, memandang dirinya melebihi perempuan. “Ketika ada perempuan pintar dan berprestasi, cara termudah untuk menjatuhkannya adalah ‘mengusik’ tubuhnya,” jelas Aflina, yang biasa disapa Pino.
Semoga masih lekat di ingatan kita, seorang (mantan) hakim tinggi yang mengikuti fit and proper test, bukan kapasitasnya yang dipertanyakan tetapi harga bros di dada kirinya dan hairstyle—yang hanya ikatan sepele. “Anggota DPR menanyakan, berapa anggaran yang diperlukan untuk membeli aksesori dan makeup? Padahal harga brosnya hanya 25 ribu, rambut diikat ke belakang karena rambutnya ngembang,” kisah Pino.
Meski banyak yang masih menganggap enteng pelecehan verbal, dampaknya benar-benar buruk bagi para korbannya. Sayangnya, belum ada payung hukum yang menjerat pelaku kekerasan verbal ini. Menurut Diana, pendidikan di rumah adalah kunci untuk memberikan basis pengetahuan tentang kesetaraan gender.
Pelecehan verbal harus diakhiri, dan pendidikan gender harus dimulai dari rumah agar anak laki-laki kita tidak menjadi pelaku. Ada tiga hal yang menurutnya harus dilakukan sebagai ibu, yaitu diperlakuan hormat oleh pasangan, membentuk batasan antara ibu dan anak, dan ibu harus menghargai diri sendiri.
Kata Diana, anak-anak akan merekam perilaku kedua orangtuanya dan menjadikannya ‘panduan’-nya dalam berperilaku terhadap orang lain. “Kalau kita sebagai perempuan mau saja diperlakukan tidak hormat sama suami, ya, anak laki-lakinya yang melihat akan mengikuti,” ujarnya. Selain itu, pada anak perempuan, penerimaan ibu atas perlakuan tak baik dari pasangan membentuk pandangan bahwa perempuan boleh diperlakukan dengan buruk.
“Yang kedua, itu soal cara ibu memosisikan diri pada anak laki-laki, apakah untuk dihormati atau meladeni si anak habis-habisan?” Rosdiana memberikan contoh yang terjadi pada salah satu orang tua murid di sekolah anaknya. Suatu ketika, ia melihat seorang ibu kerepotan membawakan tas sekolah dua putranya. Sebelumnya, ia juga yang menyetir mobil, membuka bagasi dan menutupnya kembali sementara ia repot dengan bawaannya tersebut. Sementara itu kedua putranya melenggang santai dengan bawaan ringan.
Sebagai ibu, perempuan harus bisa mengajarkan perilaku yang pantas terhadap perempuan. “Ketika anak laki-laki sudah respek terhadap ibunya, dia akan terdorong untuk respek pada perempuan, tahu apa yang boleh dan tak boleh dilontarkan pada perempuan. Ia juga akan memperlakukan istrinya dengan baik. Sikap menghargai perempuan akan diturunkan kepada anak-anak mereka.”
Hal terakhir yang harus dilakukan perempuan adalah bisa menghargai dirinya sendiri. “Perempuan harus punya kegiatan yang membuat dirinya berharga. Ini tidak harus berkarier atau yang menghasilkan uang. Melakukan kegiatan yang bisa membuatnya bahagia yang memiliki harga diri, juga bentuk menghargai diri sendiri,” Rosdiana menegaskan.