Menurut Nurmiati Amir dari Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sebanyak 25%-60% penderita gangguan bipolar pernah melakukan percobaan bunuh diri.
"Kematian yang terjadi akibat percobaan bunuh diri mencapai 15 hingga 20 persen dari angka itu," ungkap Nurmiati dalam Seminar Gangguan Bipolar dan Bunuh Diri di Jakarta, 22 Juni 2016. "Namun angka ini masih merupakan fenomena gunung es karena masih banyak kasus bunuh diri yang tidak terdata."
Nurmiati juga menyampaikan bahwa 60%-70% penderita gangguan bipolar yang meninggal karena bunuh diri adalah pasien dengan depresi. Artinya, bunuh diri jarang terjadi pada episode mania, hipomania, atau normal mood. "Biasanya bunuh diri juga terjadi di awal penyakit, saat pasien tidak bisa berdamai dengan fluktuasi mood-nya," ungkap Nurmiati. Laki-laki juga lebih sering meninggal pada percobaan bunuh diri karena laki-laki lebih berani melakukan tindakan-tindakan yang ekstrem dibandingkan perempuan.
Selain karena berada dalam kondisi depresi, penderita gangguan bipolar yang ingin bunuh diri biasanya pernah terpapar tindakan bunuh diri, misalnya menemukan anggota keluarga atau teman yang mati bunuh diri di hadapannya. Tindakan bunuh diri juga bisa disebabkan oleh stresor pada masa lalu, seperti kekerasan fisik pada masa kecil, kehilangan orang tua, kematian, perpisahan dengan pasangan, serta isolasi sosial. Ada pula yang memutuskan bunuh diri karena stresor yang dialami akibat kehidupan terkini, misalnya kehilangan pekerjaan. Bunuh diri tidak tidak bisa diprediksi pada penderita bipolar namun semakin tinggi faktor risiko (akibat stresor) maka kemungkinan bunuh diri akan semakin tinggi.
"Namun ada hal-hal yang biasanya melindungi penderita gangguan bipolar dari keinginan bunuh diri, misalnya baiknya dukungan keluarga, kehamilan dan memiliki anak, kuatnya kepercayaan agama, dan kepatuhan pada farmakologi jangka panjang," jelas Nurmiati.
Untuk itu, Nurmiati menyarankan agar pihak keluarga dapat mendampingi penderita gangguan bipolar sepanjang waktu dan memberikan dukungan penuh untuk pengobatannya. Penderita bipolar juga perlu meminum obat secara teratur untuk menjaga mood tetap stabil. Dosisnya perlu diperhatikan sesuai resep dokter agar pengobatan lebih optimal.
Adanya kepercayaan agama menambah pasien untuk lebih berdamai dengan penyakitnya dan melakukan pengobatan dengan kesadaran untuk kehidupan yang lebih baik. Terlebih ketika penderita memiliki anak, maka anak akan menjadi alasan untuk bertahan hidup.
Selain kepatuhan meminum obat, penderita gangguan bipolar dapat menjalani interpersonal terapi dan psikoedukasi. Adanya komunitas-komunitas untuk penderita bipolar dan keluarganya juga dapat mendukung penderita dan keluarga tidak merasa sendirian menghadapi penyakit ini. Di komunitas tersebut juga biasanya terdapat para relawan yang memberikan edukasi untuk menjadi caregiver yang baik bagi penderita bipolar.
"Stigma dari masyarakat juga perlu diubah. Penderita bipolar dapat hidup berdampingan dalam masyarakat jika masyarakat memahami apa yang sedang mereka alami," ujar Nurmiati.
Margarita M. Maramis dari Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menambahkan, gangguan bipolar terjadi di otak karena terjadi disfungsi sel-sel otak. Untuk itu pasien perlu ditangani dengan obat-obatan dan terapi. Pentingnya deteksi dini dapat mencegah penderita berada pada level depresi yang membuat penderita memutuskan untuk bunuh diri.
"Di tahap awal, jangan hanya mencari informasi di internet tetapi hubungi tenaga medis yang kompeten," ujar Marga. Ia menambahkan, risiko gangguan bipolar dapat ditekan selama melakukan pola hidup yang teratur (makan, kerja, refreshing seimbang). Tetap berolahraga dan melakukan relaksasi juga penting untuk mencegah risiko. Bila diperlukan, segera mengonsumsi obat dan melakukan penanganan medis lainnya seperti terapi.
[Baca juga 6 cara agar jiwa lebih sehat]