SEPANJANG SISA HARI ITU, dan hingga dua hari ke depan, saya menghabiskan waktu berpindah dari satu madrasah ke madrasah lain, mengunjungi sekolah negeri juga rumah para orang tua murid. Saya banyak berbincang dengan mereka.
Dan begitulah, siapa sangka di balik bangunan-bangunan kumuh dan reot itu, di pojok-pojok yang kotor dan kusam, di lingkungan yang terhimpit kemiskinan, tinggal para malaikat-malaikat kecil Malda.
Sangatlah menginspirasi mendengar bagaimana Mini Khatun menyebarkan pengetahuan soal dampak perkawinan anak kepada teman-teman sekolahnya. Atau bagaimana Noor dan Rina yang membawa pesan itu ke lingkungan rumah dan orang tua mereka. Ada juga Sahin Rajput, anak laki-laki yang giat mengajak kawan-kawannya belajar soal hukum perlindungan anak. Baginya, literasi hukum sangat penting.
Di satu madrasah, saya juga sempat bertemu seorang gadis yang, karena berusaha menghentikan perkawinan anak, terancam keselamatannya.
“Mereka mau menikah, lalu saya dan teman-teman datang untuk menjelaskan padanya soal dampak perkawinan anak,” cerita Bandana Mandal, sang gadis. Anak itu tetap tidak mendengarkan dan akan melanjutkan perkawinan. Mandal akhirnya melapor dan polisi menghentikan rencana tersebut. “Kemudian ayah anak itu marah, bahkan mengancam akan memerkosa saya.”
Saya kaget mendengar cerita Mandal, juga menyadari bahwa di Malda, kekerasan, termasuk seksual, terhadap perempuan merupakan ancaman nyata. Tetapi yang sesungguhnya membuat saya lebih terkejut adalah kenyataan bahwa Mandal tidak ciut.
Bagi orang dewasa saja, ancaman kekerasan, terlebih lagi pemerkosaan, adalah sesuatu yang begitu serius, mengerikan; sekaligus menjijikkan, serta bukan hal yang boleh dianggap lalu. Dan di sanalah Mandal, seorang gadis belasan tahun, merasakan ketakutan yang luar biasa, tapi tidak mundur. Pada akhirnya Mandal melaporkan ayah temannya itu ke polisi, dan lelaki itu berakhir di penjara.
DALAM PERJALANAN KERETA KEMBALI KE KOLKATA, di sela-sela obrolan serta cuwilan naan dan papar khas Bengali, saya menyadari bahwa asumsi saya sebelumnya adalah keliru. Ada yang sama antara India dan Indonesia, tetapi banyak pula yang berbeda.
Kereta kami sedang melintasi sungai Gangga ketika pikiran saya kembali berkelana. Saya teringat akan perjuangan mereka, para malaikat-malaikat kecil Malda. Saya juga teringat nasib anak-anak di negeri sendiri.
Foto: Bayu Maitra