DI INDONESIA, DI CIHONJE dan di banyak daerah lainnya, banyak pejabat justru menjadi instrumen langgengnya perkawinan anak. Tapi jangan salah, hal itu bukanlah sesuatu yang ilegal, melainkan legal karena merupakan dampak dari pasal karet di UU perkawinan.
Seolah-olah membolehkan anak berusia 16 tahun menikah saja belum cukup riskan, aturan di Indonesia memperbolehkan seseorang di bawah usia tersebut menikah, selama ia dapat persetujuan dari 'pengadilan' atau 'pejabat lain.' Dan di situlah celakanya.
Pada zaman Hindia Belanda dulu, pejabat yang berwenang memberikan dispensasi tersebut adalah Gubernur Jenderal. Perlu disadari bahwa Gubernur Jenderal merupakan jabatan tinggi, setingkat presiden saat ini. Artinya, kalau dulu ada seseorang berusia anak hendak menikah, mesti Jokowi yang tanda tangan.
Masalahnya, dalam UU perkawinan 1974 yang dipakai sampai sekarang, tidak jelas siapa yang dimaksud dengan 'pejabat lain.' Sekilas, hal itu tampak remeh. Tapi ketidakjelasan itu telah menimbulkan bias besar. Alhasil, kini camat atau lurah pun, karena notabene pejabat, boleh saja memberi ‘restu’ perkawinan anak.
Saya ingat setahun silam, ketika MK akhirnya menolak PK terkait UU perkawinan 1974. Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Sarsanto W. Sarwono, mengatakan bahwa keputusan itu bisa diartikan sebagai, “Negara juga berperan melegalkan praktik pedofilia.”