PERTAMA KALINYA SAYA MENYADARI perbedaan antara Malda dan Cihonje terkait isu perkawinan anak adalah saat berkunjung ke kantor pemerintahan Malda. Hari masih pagi ketika Sri. Sharad Dwivedi, IAS, Kepala Distrik Malda, menjamu kami dengan secangkir teh hangat.
Dwivedi adalah pejabat yang simpatik, meski pagi itu ia memasang gestur formal. Cara bicaranya terkesan tenang dan menenangkan. Tentu saja, sesekali ia juga menggelengkan kepala seraya berkata, accha. Dalam bahasa India, accha berarti “baik.”
Sejak dua tahun terakhir, Dwivedi dan timnya merupakan pendukung upaya pengentasan perkawinan anak di Malda. Dengan dukungannya, UNICEF India jadi lebih mudah menjalankan dan menerapkan program kerja di akar rumput, lewat institusi-institusi pendidikan.
Menurut Dwivedi, beberapa tantangan besar dalam isu perkawinan anak di Malda terletak pada ranah pemahaman serta budaya. Ia menyoroti tentang betapa pentingnya edukasi terhadap anak dan orang tua. Perkawinan anak, sebagaiman juga di Indonesia, sudah terjadi sejak lama. Dan di India, praktik perjodohan masih jamak.
Bagaimanapun, saya melihat satu hal positif yang membedakan India dari Indonesia. “Di India, perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah ilegal. Jadi, kami bisa menghentikan secara hukum,” jelas Dwivedi. Tetapi sesungguhnya bukan batas minimal usia perkawinan saja yang membuat saya iri. Di India, saya merasa pemerintah telah menyediakan lebih banyak infrastruktur pendukung, dan rasanya bisa pula diterapkan di Indonesia.
Misalnya, program Kanyashree. Ini merupakan skema bantuan keuangan (insentif) yang bertujuan membantu kesejahteraan dan pendidikan lanjutan anak perempuan di Bengali Barat. Untuk mendapatkan bantuan dana ini, setiap anak perempuan mesti menunda pernikahan mereka hingga usia 18 tahun.
Contoh lain adalah layanan hotline (seperti 14045 untuk memesan McDonald) untuk melaporkan adanya perkawinan anak. Dwivedi menjelaskan mekanismenya, bahwa “Masyarakat tinggal melapor, dan setelah menerima informasi polisi akan datang ke tempat yang bersangkutan.” Perkawinan pun bubar.