Dari kacamata lain, seperti medis, misalnya. Usia minimal perkawinan di Indonesia masih dianggap terlampau dini, terlalu rawan dan berisiko. Berbagai riset kesehatan menyatakan bahwa usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun. UNICEF merekomendasikan hal itu, begitu pula Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Tetapi banyak orang menganggap sepi hal tersebut.
Tetapi apa sesungguhnya risiko medis dari perkawinan anak? Cukup banyak, jika mau dikalkulasi. Pertimbangannya meliputi kesiapan rahim, kesiapan mental dan spiritual, tingginya risiko kematian ibu melahirkan hingga kesehatan si calon anak.
Di kereta menuju Malda siang itu saya teringat kasus setahun lalu,ketika sekelompok masyarakat meminta peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia minimal perkawinan. Waktu itu ada dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG, yang hadir sebagai saksi ahli. Ia memaparkan risiko menjadi seorang ibu remaja.
Secara global, komplikasi kehamilan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk remaja perempuan usia 15-19. Kehamilan remaja memiliki risiko tiga sampai tujuh kali lipat berujung kepada kematian ibu, dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35. Kehamilan remaja juga membawa risiko preeklampsia atau hipertensi pada kehamilan, kerusakan jalan lahir pasca salin yang membentuk lubang-lubang pada vagina, serta terbaliknya rahim.
Dalam Journal of the American Academy of Pediatric (2005), Jonathan D. Klein juga menemukan bahwa bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja memiliki risiko 50% lebih tinggi untuk meninggal saat lahir. Terlepas dari itu, ia menegaskan bahwa, secara psikologis, seorang anak tidak semestinya melahirkan dan membesarkan anak.
Tambahkan semua itu dengan dampak sosial. Ketika seorang anak menikah, sesungguhnya ia telah menempatkan diri dalam posisi rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, selain juga berpotensi berkontribusi terhadap rantai kemiskinan (lihat infografis).