Di Malda, satu kota kecil di timur India, saya bertemu para pejuang cilik yang berusaha memutus mata rantai praktik perkawinan anak. Saya teringat anak-anak di tanah air sendiri.
MENUJU DISTRIK MALDA di Bengali Barat bukan perkara sederhana. Dari Kolkata, ibukota lama India, saya mesti naik kereta selama lima jam ke utara, kemudian melanjutkan dengan mobil sewaan. Waktu itu siang yang terik di pertengahan Juli, namun cerpen-cerpen Rabindranath Tagore membuat hari terasa teduh, terkadang trenyuh.
Tagore adalah penyair besar India yang lahir di Kolkata. Shakespeare-nya India kalau kata orang. Dalam karya-karyanya, Tagore sering berkisah tentang pergulatan hidup anak-anak Kolkata melawan jerat kemiskinan, kekangan otoritas, ilusi norma-norma, juga dilema benturan budaya. Cerita-cerita itu, entah mengapa, terasa bertalian dengan tujuan saya ke Malda: Mengamati praktik terkait isu perkawinan anak.
Waktu itu saya berpikir bahwa Malda punya kesamaan dengan beberapa daerah di Indonesia. Ia distrik dengan 3,9 juta penduduk (sensus India 2011) dan merupakan daerah miskin. Masyarakatnya banyak berasal dari etnis Bengali, dan mayoritas bekerja sebagai petani. Malda memang punya mangga yang manis sekali! Di sisi lain, distrik ini juga merupakan daerah muslim, dengan persentase mencapai 70%. Dan dari seluruh India, Malda menempati urutan kedua teratas dalam hal prevalensi perkawinan anak (42% dari total populasi).
Gambaran-gambaran itu menuntun saya berasumsi bahwa, boleh jadi, apa yang ada di Malda pastilah serupa dengan di Indonesia, jika tidak lebih buruk. Jadilah selama perjalanan itu, di sela-sela obrolan dan cuwilan naan plus papar khas Bengali, pikiran saya melayang ke Tanah Air sendiri. Belakangan saya baru tahu bahwa asumsi saya keliru.
SEKITAR SETAHUN SILAM, saya pernah pergi ke Cihonje, satu daerah di Jawa Barat, untuk meliput isu perkawinan anak di Indonesia. Ketika itu saya kaget juga ketika menemukan bahwa, di daerah yang relatif dekat dengan ibukota, praktik perkawinan anak masih marak. Di sanalah saya bertemu seorang anak yang sudah memiliki anak. Di sana pula saya bertemu gadis belasan tahun yang telah empat kali jadi janda.
Ketika itu saya merasa miris. Saya bertanya-tanya, bagian manakah dari dampak perkawinan anak yang sulit dipahami? Apa pertimbangan dan kendala mereka? Apa yang belum dilakukan pemerintah? Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita lakukan?
Perkawinan anak sendiri, secara hukum, merupakan perkawinan yang dilakukan seorang yang usianya belum dianggap dewasa oleh negara. Tapi, ya, di Indonesia, aturan itu memang semrawut.
Dalam UU Perlindungan Anak, misalnya, anak diartikan sebagai seseorang di bawah usia 18 tahun. Tetapi UU itu bertabrakan dengan UU Perkawinan 1974, di mana batas usia minimal adalah 19 tahun untuk laki-laki, dan 16 tahun untuk perempuan. Ketidakjelasan ini memicu satu pandangan bahwa negara turut melegalkan perkawinan anak. Tetapi itu baru masalah dari kacamata hukum.