Sejatinya lebih bermanfaat mengonsumsi gula jawa/gula aren daripada gula tebu. Karena gula jawa kaya dengan berbagai mineral, vitamin B1, B2, B3, B6, potasium, seng, dan besi. Selain itu gula jawa juga mempunyai efek penyembuhan (phytonutrient). Penderita diabetes dianjurkan mengonsumsi gula jawa karena memiliki kadar glikemik lebih rendah yang mengakibatkan penyerapan insulin ke dalam pembuluh darah relatif lebih lambat. Sayang sekali sekarang beredar informasi tidak akurat tentang gula jawa.
Mengandung formalin?
Seorang teman mengirim email menceritakan kisah adiknya yang berencana berwiraswasta minuman jamu dengan pemanis gula jawa. Ketika dites di laboratorium, jamu buatannya disinyalir mengandung formalin yang diduga berasal dari gula jawa. Penasaran, adik teman tersebut menelusuri hingga ke sumbernya di sebuah desa di Jawa Tengah. Konon, pembuat gula di sana mengakui telah membubuhkan formalin atas permintaan tengkulak. Ia juga menambahkan, para pembuat gula itu sekarang tidak lagi mau mengonsumsi gula buatannya sendiri.
Gula jawa adalah istilah yang digunakan Belanda untuk gula tradisional yang terdapat di berbagai wilayah jajahannya, terbuat dari nira aren atau kelapa yang digodok di atas tungku kayu bakar lalu dicetak dalam tempurung kelapa. Di India, Sri Lanka, Bangladesh, Birma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia ditemukan gula yang sama dengan cara pengolahan yang mirip dengan cara nenek moyang kita.
Menyadari gula jawa adalah salah satu komponen bumbu yang penting dalam masakan sehari-hari baik lauk pauk maupun kue-kue, saya menjadi sangat khawatir membayangkan jumlah formalin yang telah mengendap di badan (aduh kolak pisang, aduh gudeg, aduh rujak ulek). Belum lagi tumpukan formalin yang terdapat pada tahu, makanan kesukaan saya.
"Formalin gunanya untuk mengawetkan. Sementara gula karena sifatnya yang manis, sudah dengan sendirinya akan awet, sama seperti garam," kata Helianti Hilman, produsen pangan organik Javara. "Yang umum dilakukan oleh pengrajin gula jawa adalah membubuhkan larutan sulfit untuk menghentikan proses fermentasi nira dalam tabung bambu penadah. Karena proses pengumpulan memakan waktu 8-10 jam untuk memperoleh 1 liter nira, waktu yang cukup lama itu menyebabkan terjadinya proses fermentasi. Bila nira terlanjur terfermentasi, ia akan menggumpal sehingga tidak bisa diolah menjadi gula cetak. Gula jawa yang sudah dibubuhi sulfit akan memiliki after taste rasa amis," ulasnya.
Masih penasaran, saya langsung menghubungi Wida Winarno, direktur laboratorium MBrio. "Formalin itu bahan kimia yang masuk kategori BB (barang berbahaya) bila dikonsumsi. Sementara sulfit adalah bahan kimia murni yang sudah umum dibubuhkan pada makanan olahan dengan tujuan untuk memperbaiki tampilan sekaligus mengawetkannya (misalnya pada pembuatan lidah asin atau corned beef). Selama dosisnya tidak melebihi takaran, sulfit tidak membahayakan," jelasnya. Namun di AS semua produk makanan olahan yang mengandung sulfit diwajibkan mencantumkannya dalam label mereka, mengingat banyak anak-anak alergi terhadap bahan kimia tersebut.
Do's & don'ts gula jawa
Demi mengejar keuntungan besar, banyak pembuat gula aren atau kelapa yang mencampurkan gula tebu ke dalam godokan nira. Akibatnya sesudah didinginkan tekstur gula tersebut menjadi lebih keras dan tidak mudah lumer. Warna cokelatnya memudar, serta harumnya pun berkurang. Bila dilakukan proses karamelisasi, setelah dingin gula jawa campuran akan menggumpal, sementara gula jawa tidak.
"Yang perlu dihindari adalah gula jawa yang warnanya kehitaman karena hangus. Walaupun bau hangus kadang-kadang menimbulkan rasa smoky, gula ini berbahaya untuk dikonsumsi. Gula jawa hangus mengandung akrilamida, yang ternyata menjadi salah satu penyebab kanker karena berasal dari karbohidrat yang terbakar hangus," Helianti menambahkan.
Untuk memperoleh harum dan rasa gula jawa yang otentik akan lebih aman bila memilih gula jawa organik. Lebih aman, karena sulfit sudah diganti dengan bahan pencegah fermentasi alami yang tersertifikat. Keharuman dan rasa smoky tetap bisa dipertahankan karena konstruksi tungku pemasak sudah diperbaiki sehingga adonan gula tidak cepat hangus.
Dengan pengawasan ketat dan perbaikan proses pembuatan, ternyata kemampuan (khas) gula jawa organik untuk meningkatkan rasa lezat pada masakan lebih terjamin. Kemampuan istimewa ini berlaku pada hidangan lauk pauk maupun kue-kue tradisional. Bayangkan saja perbedaan rasa antara segelas es cendol bergula jawa yang harum, terasa smoky dan warnanya kecokelatan dengan segelas cendol berwarna pink karena menggunakan gula tebu dan pewarna!
Mengandung formalin?
Seorang teman mengirim email menceritakan kisah adiknya yang berencana berwiraswasta minuman jamu dengan pemanis gula jawa. Ketika dites di laboratorium, jamu buatannya disinyalir mengandung formalin yang diduga berasal dari gula jawa. Penasaran, adik teman tersebut menelusuri hingga ke sumbernya di sebuah desa di Jawa Tengah. Konon, pembuat gula di sana mengakui telah membubuhkan formalin atas permintaan tengkulak. Ia juga menambahkan, para pembuat gula itu sekarang tidak lagi mau mengonsumsi gula buatannya sendiri.
Gula jawa adalah istilah yang digunakan Belanda untuk gula tradisional yang terdapat di berbagai wilayah jajahannya, terbuat dari nira aren atau kelapa yang digodok di atas tungku kayu bakar lalu dicetak dalam tempurung kelapa. Di India, Sri Lanka, Bangladesh, Birma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia ditemukan gula yang sama dengan cara pengolahan yang mirip dengan cara nenek moyang kita.
Menyadari gula jawa adalah salah satu komponen bumbu yang penting dalam masakan sehari-hari baik lauk pauk maupun kue-kue, saya menjadi sangat khawatir membayangkan jumlah formalin yang telah mengendap di badan (aduh kolak pisang, aduh gudeg, aduh rujak ulek). Belum lagi tumpukan formalin yang terdapat pada tahu, makanan kesukaan saya.
"Formalin gunanya untuk mengawetkan. Sementara gula karena sifatnya yang manis, sudah dengan sendirinya akan awet, sama seperti garam," kata Helianti Hilman, produsen pangan organik Javara. "Yang umum dilakukan oleh pengrajin gula jawa adalah membubuhkan larutan sulfit untuk menghentikan proses fermentasi nira dalam tabung bambu penadah. Karena proses pengumpulan memakan waktu 8-10 jam untuk memperoleh 1 liter nira, waktu yang cukup lama itu menyebabkan terjadinya proses fermentasi. Bila nira terlanjur terfermentasi, ia akan menggumpal sehingga tidak bisa diolah menjadi gula cetak. Gula jawa yang sudah dibubuhi sulfit akan memiliki after taste rasa amis," ulasnya.
Masih penasaran, saya langsung menghubungi Wida Winarno, direktur laboratorium MBrio. "Formalin itu bahan kimia yang masuk kategori BB (barang berbahaya) bila dikonsumsi. Sementara sulfit adalah bahan kimia murni yang sudah umum dibubuhkan pada makanan olahan dengan tujuan untuk memperbaiki tampilan sekaligus mengawetkannya (misalnya pada pembuatan lidah asin atau corned beef). Selama dosisnya tidak melebihi takaran, sulfit tidak membahayakan," jelasnya. Namun di AS semua produk makanan olahan yang mengandung sulfit diwajibkan mencantumkannya dalam label mereka, mengingat banyak anak-anak alergi terhadap bahan kimia tersebut.
Do's & don'ts gula jawa
Demi mengejar keuntungan besar, banyak pembuat gula aren atau kelapa yang mencampurkan gula tebu ke dalam godokan nira. Akibatnya sesudah didinginkan tekstur gula tersebut menjadi lebih keras dan tidak mudah lumer. Warna cokelatnya memudar, serta harumnya pun berkurang. Bila dilakukan proses karamelisasi, setelah dingin gula jawa campuran akan menggumpal, sementara gula jawa tidak.
"Yang perlu dihindari adalah gula jawa yang warnanya kehitaman karena hangus. Walaupun bau hangus kadang-kadang menimbulkan rasa smoky, gula ini berbahaya untuk dikonsumsi. Gula jawa hangus mengandung akrilamida, yang ternyata menjadi salah satu penyebab kanker karena berasal dari karbohidrat yang terbakar hangus," Helianti menambahkan.
Untuk memperoleh harum dan rasa gula jawa yang otentik akan lebih aman bila memilih gula jawa organik. Lebih aman, karena sulfit sudah diganti dengan bahan pencegah fermentasi alami yang tersertifikat. Keharuman dan rasa smoky tetap bisa dipertahankan karena konstruksi tungku pemasak sudah diperbaiki sehingga adonan gula tidak cepat hangus.
Dengan pengawasan ketat dan perbaikan proses pembuatan, ternyata kemampuan (khas) gula jawa organik untuk meningkatkan rasa lezat pada masakan lebih terjamin. Kemampuan istimewa ini berlaku pada hidangan lauk pauk maupun kue-kue tradisional. Bayangkan saja perbedaan rasa antara segelas es cendol bergula jawa yang harum, terasa smoky dan warnanya kecokelatan dengan segelas cendol berwarna pink karena menggunakan gula tebu dan pewarna!