Pendiri Restoran Suwe Ora Jamu ini mencoba menjaga tradisi lewat jamu. Bagi Nova, jamu adalah minuman tradisional berfilosofis.
Budaya Jawa masih kental ketika Nova dibesarkan di satu rumah di Jalan Bubutan, Gang 5, Surabaya, 41 tahun silam. Setiap hari, Si Mbok lewat menggendong botol jamu. Ibu Nova adalah pelanggan setia. Dan sebagai anak yang mengidolakan ibu—juga karena unsur paksaan—Nova jadi ikut-ikutan minum jamu. Waktu itu usianya 12 tahun.
Tumbuh dewasa, lidah Nova jadi terbiasa. Beragam jamu sudah pernah dicicipinya, dari yang umum seperti temulawak dan beras kencur, hingga yang seger-segeran macam jamu alang-alang. Tetapi ketika ia pindah ke Jakarta pada 2011 silam, konsep kedai jamu modern belumlah terpikirkan.
“Satu hal yang ada di pikiran saya saat itu adalah bagaimana bisa berkontribusi bagi Indonesia?” kenang Nova. Dan karena ia suka seni-budaya, maka ia banyak beraktivitas di GKJ atau di TIM, ikut mengurusi acara-acara teater.
Keinginan untuk membuat kedai jamu itu muncul karena beberapa dorongan. Pertama, ketika menyadari bahwa jamu sudah tak terpisahkan dari hidupnya. Kedua, Nova kesulitan menemukan tempat minum jamu di Jakarta. Dan ketiga, ia melihat bahwa ada konotasi negatif di masyarakat terkait jamu. “Ada yang tahunya jamu itu obat, atau minuman wong tuo. Saya berpikir, kenapa ada jarak, ya, antara jamu dan masyarakat? Padahal, ini minuman tradisi Indonesia.”
Sebagaimana batik, misalnya, jamu adalah minuman dengan filosofi. Ia berasal dari bahasa Jawa, “jampi” dan “husodo,” yang artinya “doa untuk kesehatan.” “Dulu, orang berdoa sebelum membuat jamu,” Nova menerangkan. “Doa untuk alam semesta, untuk tanah, petani, hingga doa untuk mereka yang mengonsumsi jamu.”
Nova juga menjelaskan tentang delapan unsur dalam jamu (akar, rimpang, batang, daun, bunga, buah, biji dan kulit), yang juga melambangkan delapan mata angin, atau keseimbangan alam semesta.
Pencarian Nova akan makna jamu kemudian semakin membuatnya tertarik sekaligus tertantang. Dan ia mulai berpikir bahwa, mungkin, itulah sumbangsih yang bisa diberikan untuk Indonesia. Membuat kedai jamu. “Awalnya memang nekat, sih,” jelas Nova. “Tetapi saya selalu percaya bahwa jamu, jika diolah dengan tepat, bisa diterima masyarakat.”
Maka jadilah Nova mulai berkreasi. Mulanya, jamu hanya dijadikan suguhan bagi para tamu di rumahnya, atau dibawa saat ada rapat dengan relasi-relasinya. Lambat laun, ia semakin mantap untuk membuat kedai jamu modern. Maka berdirilah Suwe Ora Jamu pada 2014 silam.
Nova tahu bahwa banyak rintangan yang mesti ia lalui jika hendak sukses membuat kedai jamu. Pertama adalah mengikis stigma negatif bahwa jamu tidak enak.
Hal tersebut membawanya kepada eksperimen-eksperimen dengan bahan-bahan jamu. Ia ingin jamu yang enak, yang rasanya bisa diterima anak muda di kota seperti Jakarta, juga yang presentasinya modern.
Ia pun memasukkan unsur buah dan sayuran sebagai penyeimbang. Misalnya, menggunakan buah bit untuk campuran jahe, atau mendapatkan manis alami dari apel. Seperti smoothies, sederhananya.
Nova ingat bagaimana sulitnya mengulik temulawak yang pahit dan getir. Jamu dari umbi atau akar-akaran memang memiliki rasa yang kuat. Kala itu Nova sudah mencoba guava dan jeruk, namun gagal. Lalu ia coba dengan mangga, tapi tak sepenuhnya sukses. Belakangan, ia baru tahu bahwa jenis mangganya juga memengaruhi. “Harus mangga gedong, tidak bisa mangga golek atau manalagi,” kenang Nova.
Tantangan lain yang mesti dihadapi adalah soal promosi dan edukasi. Nova ingat ketika Suwe Ora Jamu, kedainya, baru saja buka. Respons yang datang tidak jarang bernada pesimistis. Memang masih ada yang minum jamu? Memangnya ada yang mau datang?
Bagi Nova sendiri, pangkal dari masalah tersebut adalah ketidaktahuan. “Tidak kenal maka tidak sayang. Dan itu yang menyebabkan hilangnya antusiasme terhadap jamu di kalangan anak muda,” jelas Nova. “Itu pula sebabnya Suwe Ora Jamu sebetulnya bukan brand, melainkan sebuah gerakan untuk mendekatkan masyarakat pada jamu.”
Nova punya mimpi besar agar kelak jamu bisa menjadi minuman yang dicari orang ketika datang ke Indonesia. Ini seperti ketika orang mesti makan tom yum di Thailand, atau sushi di Jepang. Ia juga ingin jamu menjadi lifestyle.
Pada akhirnya, Nova melihat jamu bukanlah sekadar minuman, tetapi sebuah proses. “Ini yang namanya jamu sebagai tradisi. Dan saat ini, kitalah penjaga tradisi tersebut.”
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Erin Metasari
Rias wajah dan rambut: Ary Alba