Dalam satu kesempatan, saya bertanya kepada Grace soal makanannya. Sebagai dokter dan ahli nutrisi, rasanya mustahil jika ia tak memiliki rahasia khusus diet. Tetapi saya mesti kecewa. “Saya tidak terlalu ribet soal makanan. Tubuh kita punya sensor yang bagus,” jelasnya.
Tubuh, ketika membutuhkan asupan, akan memberikan sinyal yang kita pahami sebagai rasa lapar. Begitu pula ketika tubuh sudah menerima lebih dari cukup. Kita menjadi kenyang. Banyak orang gagal dalam diet karena tidak mendengarkan suara tubuh. Pun jika mendengar, diabaikan.
“Jika di luar rumah, paling tidak saya akan sangat memperhatikan kebersihan dari tempat dan bahan baku makanan,” kataGrace. “Barulah saat di rumah, kita bisa memilih sendiri bahan makanan yang bagus.”
Tentang kelengkapan gizi dan variasi makanan, Anton mengajukan beberapa tip sederhana. Ia menamakannya “diet pelangi”. “Ada warna apa saja dalam pelangi? Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Ya, makanan dengan warna-warna itu mesti kita makan,” jelasnya. “Mereka punya khasiat masing-masing, dan alam sudah menyediakan semuanya, kok.”
Usulan Anton memang selaras dengan berbagai hasil riset di bidang pangan. Kini kita tahu bahwa makanan dengan warna kuning atau oranye, misalnya, terkenal sarat vitamin C. Atau, yang merah kaya dengan antioksidan.
Anton juga meminta agar seseorang lebih adil terhadap cita rasa. Ada lima rasa yang dikenal lidah manusia: Manis, asam, asin, pahit, umami. “Jangan tidak seimbang. Misalnya, manis atau asin terus. Atau, meninggalkan sama sekali yang pedas atau pahit. Keseimbangan itu penting.”
Obsesi tidak sehat terhadap diet sehatFaktanya, kita tak pernah bisa menjamin bahwa apa yang kita makan 100% bersih atau organik.
Saya menanyakan satu hal kepada Grace di akhir kunjungan ke klinik Light House. Dengan semakin keras orang menyuarakan soal bahaya makanan dan diet sehat, saya penasaran: Apakah kita tidak menjadi ekstrem dan paranoid terhadap makanan? Lalu apa kabar dengan passion and pleasure dalam bersantap?
Grace tersenyum sebelum menjawab. “Ya. Kami punya istilah soal itu, namanya orthorexia.” Orthorexia adalah kondisi saat seseorang menghindari makanan tertentu karena menganggapnya berbahaya.
Pakar nutrisi Steven Bratman, MD, MPH, pertama kali memperkenalkan istilah orthorexia dalam esai Health Food Junkie (1997), yang diterbitkan di Yoga Journal. Steven meyakini bahwa orthorexia merupakan sebuah gangguan mental, dan dampaknya bisa mengkhawatirkan (baca 3 alasan diet makanan mentah tidak disarankan).
Orang-orang orthorexia terobsesi diet sehat, yang pada akhirnya justru berpotensi membahayakan tubuh, dan menyulitkan hidup. Dalam kasus ekstrem, meski amat jarang, obsesi itu dapat menyebabkan tubuh kekurangan gizi akut bahkan kematian.
“Faktanya, kita tak pernah bisa menjamin bahwa apa yang kita makan 100%, bersih atau organik,” kata Grace. Saya mengatakan kembali apa yang diucapkan Grace kepada Anton dan Bonny, dan keduanya menyetujui. Intinya, waspada boleh, tetapi jangan jadi terobsesi.
“Dulu saya malah suka menawar, hahaha,” kenang Bonny yang telah menjalani diet sehat selama beberapa tahun terakhir. Menawar di sini bukan berarti ia jadi memakan makanan yang tidak sehat, tetapi baginya, makan tetap mesti enak dan menyenangkan.
Di restorannya, Bonny tetap menyajikan berbagai hidangan berbasis daging, seperti Beef Yakiniku atau Chicken Cordon Bleu. Tetapi, ia memasaknya dengan bahan-bahan pilihan, mulai dari minyak, garam, hingga kecap. Begitu pula dengan cara memasaknya.