Clean eating bisa jadi ‘ada di mana-mana’. Mendefinisikan clean eating nyaris mustahil karena istilah ini begitu luas. Saya menanyakan kepada beberapa orang berbeda, termasuk dokter, pengusaha restoran dan katering sehat juga praktisi, lalu mendapat respons beragam.
“Bagi saya, clean eating kurang lebih sama dengan healthy eating,” jelas Dr Grace Judio-Kahl, MSc dari Light House: Weight Control & Bariatric Clinic. “Ia tidak bisa dikategorikan sebagai diet karena tidak punya tujuan yang spesifik. Misalnya, diet untuk mengurangi berat badan.”
Di kesempatan lain, saya menanyakan hal serupa kepada dr. Anton Budiono MS.M.Farm dari RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta. “Clean eating, ya, makan-makanan yang disediakan oleh alam.” Anton adalah vegetarian dengan pengalaman panjang di bidang pengobatan herbal dan alternatif. Tidaklah mengejutkan jika pendekatannya lebih ke alam.
Bonny Limantoro, pemilik restoran dan katering sehat Ohana Bistro, punya pendapat sendiri. Bonny memasarkan katering dengan label “light and nutritiously”. Ketika saya menanyakan soal clean eating, ia menjawab, “Makan makanan yang berbahan baku dan dimasak dengan sehat.”
Sebuah buku karya Ivy Ingram Larson dan Andrew Larson berjudul Clean Cuisine (2013) mengajukan definisi: Menyantap makanan dengan kondisi sedekat mungkin dengan kondisi alaminya.
Mendefinisikan clean eating memang nyaris mustahil. Namun setiap orang yang saya tanya sepakat akan satu hal: Clean eating adalah upaya untuk menjadikan diri lebih sehat, dengan cara mengubah diet menjadi lebih sehat. Ia bukan sekadar diet, tetapi gaya hidup.
Sebuah diet dengan mindset menurunkan bobot sering kali menggunakan metode radikal, seperti puasa untuk waktu yang teramat panjang. Hasilnya, tubuh menjadi lemah dan rentan sakit. Ini, tentu saja, melenceng dari tujuan clean eating.
Tetapi jika diet itu menempatkan kesehatan dan kebugaran sebagai prioritas, lalu menyesuaikan metode untuk mencapai tujuan tersebut, maka itu termasuk clean eating. Bonny bilang, “Langsing itu cuma bonus. Yang utama adalah sehat.”
Tak sekadar melokalkan bahanDulu, masyarakat kita hanya makan daging dalam hajatan tertentu. Selebihnya, banyak sayuran atau urap.
Banyak orang yang hendak memulai clean eating mengeluhkan soal masakan lokal. Ada yang bermasalah dalam menemukan bahan pangan lokal yang bagus, atau makanan yang diolah dengan baik. Tetapi mungkin itu cuma alasan.
Tukang gorengan di ujung jalan itu mungkin memakai minyak yang sudah digunakan sejak zaman orde baru, sementara si abang bakso pakai formalin untuk bikin bakso yang gendut-gendut (belum termasuk MSG di kuah). Tetapi hal yang perlu disadari adalah, keputusan untuk mengonsumsi ada di tangan Anda. Dan, jika memang niat, Anda selalu bisa memasak sendiri makanan Anda.
Hal penting lain , sesungguhnya tak ada yang salah dari bahan pangan Indonesia. Kita punya sumber pangan melimpah dan bergizi tinggi. Sebut saja berbagai varietas beras, buah dan sayuran. Belum lagi umbi-umbian, ikan hingga tempe yang dijuluki superfood di Eropa.
Clean eating jadi terasa berat dan ribet ketika seseorang telanjur mengadopsi mentah-mentah budaya makan ala Barat. Makan steak daging merah 500 gram, misalnya. Atau, makan mi dalam kemasan, frozen food, minuman soda atau bahkan junk food.
“Budaya makan daging itu, kan, datangnya dari Barat,” ujar Bonny. “Dulu, masyarakat kita hanya makan daging dalam hajatan tertentu. Selebihnya, banyak sayuran atau urap. Hampir setiap daerah di Indonesia punya sejenis urap. Di Jepang pun begitu. Dulu, sebelum era daging, makanan tradisional mereka banyak dari biji-bijian.” Pada akhirnya, “melokalkan clean eating” tidak hanya terbatas pada penggunaan bahan pangan lokal dan adaptasi menu. Ia bisa mencakup cara pemrosesan dan pola makannya.