Tumpukan sampah plastik nyaris memenuhi halaman pabrik PT Langgeng Jaya Fiberindo (LJF) di wilayah industri Jababeka, Tangerang. LJF adalah anak perusahaan dari Langgeng Jaya Group yang kini telah memiliki enam pabrik di berbagai kota di Indonesia.
Namun kesan kumuh itu langsung luntur ketika saya bertemu dengan sang pemilik, pendiri, sekaligus Direktur Langgeng Jaya Group. Christine Halim, 41, tampak cantik, modis, dan terawat. “Biarpun sehari-hari ngurusin sampah, ke salon jalan terus, dong,” katanya diikuti tawa yang renyah.
Ketika anak-anak seusianya memilih baca komik, ia justru senang mengamati fluktuasi harian harga emas dan minyak bumi di koran Surabaya. “Ndak tahu kenapa. Saya senang saja. Sejak di SD saya sudah berbisnis. Jualan pensil dan penghapus ke teman-teman sekolah,” kata lulusan Teknik Industri Universitas Surabaya ini.
Ketika kedua putri kembarnya sudah cukup besar, Christine mulai membutuhkan kesibukan selain jadi ibu rumah tangga. Seorang temannya memberi info bahwa sampah plastik ternyata punya nilai ekonomi yang tinggi kalau dikelola dengan baik. Christine juga tertarik pada sisi idealisnya. Bahan dasar pembuatan plastik yang orisinal adalah minyak bumi. “Dengan mendaur ulang sampah plastik, kita bukan hanya menghemat energi minyak bumi, tapi juga membantu menyelamatkan lingkungan dari sampah plastik,” katanya.
Memulai dari nol, bermodal sebuah timbangan dan uang secukupnya, ia pun siap menjadi pengepul sampah plastik. Selain memasang iklan di surat kabar, ia blusukan menemui para pemulung di sekitar Surabaya. Waktu itu tahun 2006. Sampah-sampah itu ditumpuk di garasinya rumah kontrakannya yang mungil. “Pokoknya rumah saya sudah ndak karu-karuan bentuknya,” katanya, tertawa. Ia turun tangan sendiri, mulai dari menyortir hingga mencuci sampah berupa gelas, botol, dan galon plastik, dibantu asisten rumah tangganya. Ketika pasokan sampah dan permintaan makin banyak, ia berani menyewa gudang.
Selanjutnya ia membeli mesin cacah sendiri, karena sampah plastik yang sudah dicacah bukan saja harganya lebih tinggi, tapi juga bisa langsung diekspor. Dalam waktu relatif singkat, ia pun berhasil mengekspor cacahan plastik bekas ke Cina, Korea, Thailand, Vietnam, Jepang, dan Australia. Yang tak kalah hebat, sebagian besar info dan ilmu yang ia terapkan pada bisnisnya itu ia dapatkan dari… Mbah Google!
Suatu hari di tahun 2007, seorang pemilik pabrik daur ulang plastik di Makassar mendatangi Christine. Pabriknya tidak berjalan dengan baik karena ia tidak tahu banyak tentang seluk-beluk bahan dasarnya—sesuatu yang justru sangat dikuasai Christine. Keduanya lantas bermitra. Itulah pabrik pertama yang dikelola Christine. Dan hanya dalam enam tahun, ia telah berhasil membuka gudang dan pabrik di Makassar, Surabaya, Bali, Jember, Medan, Tangerang.
Sejak tahun 2013, ia mulai memproduksi sendiri produk hasil daur ulangnya seperti dakron (kapas sintetis), strapping band, dan geotextile. Tak heran bila sejak tahun 2015 lalu, ia terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia.
Ketika baru memulai bisnis dulu, ia beberapa kali dibohongi oleh mitra-mitra bisnisnya. “Terjun ke bisnis ini, kalau mental tidak kuat, bisa bangkrut dalam sekejap,” katanya. Namun ia mengaku bukan tipe bertangan besi. “Saya lebih suka mengajak mereka bicara baik-baik. ‘Jangan begitu, dong. Kalau saya bangkrut, kan, sampeyan juga ikut rugi’,” kata Finalis Ernst & Young 2016 ini.
Saat bertemu dengan para pemulung—yang masih dilakukannya hingga sekarang—ia juga kerap dijadikan tempat curhat. Ia bukan tipe atasan yang selalu ingin mengendalikan semuanya. “Kita harus berani memberi kepercayaan dan mendelegasikan pekerjaan pada anak buah. Fungsi saya hanya mengontrol dan membuat keputusan-keputusan penting,” kata Christine, tersenyum.
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah