Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya membuat resolusi di akhir tahun. Dulu, saya rajin membuat resolusi untuk diwujudkan di tahun berikutnya. Ingin kursus akupunktur, ingin belajar diving, ingin traveling ke Mesir, ingin memulai kebiasaan berolahraga dengan teratur—pokoknya banyak. Setelah menyusun resolusi-resolusi itu, rasanya semangat hidup saya melambung setinggi langit, seolah semua tujuan itu sudah di depan mata dan tinggal diraih dengan tangan. Saya lalu berangan-angan akan secepatnya mencari alamat kursus akupunktur dan diving yang kompeten, membeli baju dan sepatu olahraga, browsing tiket murah ke Mesir.
Tahun baru pun datang, terus melaju dengan cepat, dan tahu-tahu sudah menjelang akhir tahun lagi. Tapi saya tetap saja belum melakukan apa pun untuk mewujudkan resolusi-resolusi saya. Memang, sih, saya pernah browsing tiket dan menemukan tiket murah ke Mesir, tapi ternyata tabungan saya sudah telanjur terkuras untuk keperluan lain. Balon euforia pun pelan-pelan mengempis seiring waktu dan rutinitas hidup, lalu tanpa sadar sudah hilang entah ke mana.…
Saya bukan satu-satunya orang yang suka menyepelekan resolusi. Survei Newsmaxhealth yang dipublikasikan dalam Scranton’s Journal of Clinical Psychology di Texas University menunjukkan, hampir 50% responden mengaku membuat resolusi tahun baru. Namun faktanya, 92% dari resolusi itu gagal diwujudkan.
Menurut Rosdiana Setyaningrum, psikolog dari Diana and Associates, karena tidak ada penalti atau hukuman bila kita tidak mewujudkan resolusi, maka orang cenderung menganggap enteng resolusi. Tidak seperti menghadapi ujian sekolah atau pekerjaan di kantor, yang bisa berisiko kita tidak lulus atau dipecat dari pekerjaan. Bahkan, tak jarang resolusi hanya dijadikan candaan di antara teman-teman untuk memeriahkan acara tahun baru.
Padahal, kata Diana, membuat resolusi itu penting agar kita selalu punya tujuan hidup. Dengan membuat resolusi, kita belajar dan melatih diri untuk menentukan dan menetapkan target hidup, dan yang penting mencapainya. Menentukan target-target sangat penting agar selalu ada kemajuan dalam hidup kita, sehingga tidak stuck di satu titik yang membuat kita dilanda kebosanan dan akhirnya apatis menghadapi rutinitas hidup. Kalau kita terbiasa mencanangkan resolusi dan berusaha mencapainya terlepas dari berhasil atau gagal—kita juga akan makin mengenali potensi sekaligus batasan diri kita. Diana menyarankan agar kita membuat resolusi untuk belajar sesuatu yang baru setiap tahunnya, misalnya belajar menyulam, menyetir mobil, menari, kursus bahasa asing, dan sebagainya, agar otak kita terus bekerja, dan tidak lekas pikun.
Resolusi tidak harus menargetkan hal-hal besar, seperti ingin menurunkan berat badan 20 kg dalam setahun, atau melanjutkan sekolah S-3, atau berlibur ke Amerika bersama keluarga (terlalu ‘mainstream’ mungkin, buat penggemar aliran ‘anti-mainstream’). Membuat resolusi-resolusi kecil tak kalah ajaib hasilnya. Misalnya, ingin meluangkan lebih banyak waktu untuk orang tua kita, ingin menyisihkan 1% penghasilan per bulan untuk kas rumah ibadah di dekat rumah, atau menargetkan membaca dua buku setiap bulan sampai tamat.
Tapi Anda tak boleh lupa— bagaimana kita menjaga agar balon euforia resolusi tidak kempis di tengah jalan. Kita bisa membuat resolusi yang masuk akal dan sesuai dengan kemampuan kita, sehingga lebih mudah dicapai. Ini lebih baik daripada membuat resolusi muluk-muluk yang membutuhkan usaha esktra keras untuk mewujudkannya.
Mary Dainty, seorang dokter dari Baylor All Saints Medical Center di Texas, menemukan fakta bahwa mereka yang menuliskan harapan berikut cara-cara untuk mencapainya lebih berhasil mewujudkan resolusi dibandingkan mereka yang hanya menyimpannya di dalam hati. Namun pada akhirnya semua itu kembali kepada tekad dan usaha tiap individu—apakah dia benar-benar ingin mewujudkan, atau justru melecehkan resolusi yang dibuatnya sendiri.
Foto: TPGNews/Clickphotos