Sekitar 5 kilometer di luar Dalat (klik artikel soal Dalat di sini), kami menyambangi Pagoda Truc Lam di Gunung Tay Thien. Kompleks ini luasnya 24,5 hektar dan dapat dicapai menggunakan cable car yang meluncur di atas Danau Tuyen Lam. Sayangnya kami tidak menempuh jalan ini, melainkan mendaki 61 anak tangga yang membawa kami ke gerbang berpintu tiga. Anehnya, sesampai di kompleks pagoda, semua rasa lelah seolah sirna. Saya terkagum-kagum menyaksikan bangunan-bangunan khas berukir rumit, diselang-seling petak-petak bunga, termasuk hydrangea biru muda yang tumbuh berkelimpahan persis di seberang kuil utama Ceremonial Hall.
Kompleks peribadatan agama Buddha aliran Zen yang diresmikan pada 1993 ini dibangun di atas bekas-bekas pagoda tua abad lalu. Sebagian ubinnya tetap dipakai sebagai kenang-kenangan berharga. Tempat ini memiliki asrama yang dihuni biarawan-biarawati dan terbuka bagi peziarah yang ingin mendalami agama selama satu-dua minggu. Masih meresapi kenyamanan Truc Lam, tak terasa kami tiba di XQ Historical Village, kompleks yang menggambarkan suasana desa Vietnam. ‘Desa’ ini didirikan pada 1994 oleh suami istri seniman dari kota Hue, bernama Hoang Thi Xuan (X) dan Vo Van Quan (Q).
Berkat jerih payah merekalah kini kami bisa berjalan-jalan santai di sini, mengunjungi paviliun-paviliun yang memamerkan dan menjual aneka benda dari sutera, termasuk lukisan berupa sulaman di atas sutera. Kami juga menikmati nyamannya serambi tempat ‘penduduk desa’ mendengarkan pembacaan puisi sambil minum teh sore-sore, kebun-kebun lengkap dengan sungai, jembatan, serta kolam berisi teratai dan ikan koi. Sebagian peserta tur tak tahan untuk tidak berbelanja cinderamata khas Vietnam, dilayani gadis-gadis ramping berbusana tradisional Ao Dai. Saya mendapat info, sebagai pusat kesenian, sewaktu-waktu di sini juga diadakan workshop menyulam dan menjahit, juga wisata boga dengan hidangan khas Vietnam.
Nha Trang, Bali-nya Vietnam
Nha Trang kami capai dengan menggunakan bus ke arah timur. Begitu sampai di sana kami diajak naik kapal berukuran sedang ke sebuah desa nelayan, di mana seorang teman membeli rajungan langsung dari pukatnya. Dari situ kami bersantap siang di Pulau Mini Beach yang pantainya sebagian berbatu-batu dan sebagian lagi berpasir putih. Ombak mengempas berirama dari laut yang biru bersih, membuat saya hampir terlelap di kursi baring yang beralaskan matras putih.
Pantai yang sama bersihnya kami saksikan di Sailing Club, di pantai Nha Trang, tempat kami bersantap siang pada hari kedua. Tak heran kalau kota ini ‘dijual’ kepada turis Indonesia sebagai ‘Bali-nya Vietnam’. Bagi saya sendiri, Nha Trang terasa membetahkan, karena pantai dapat dicapai dengan berjalan kaki dari hotel kami.
Di kota ini kami mengunjungi katedral yang disebut Gereja Batu, karena terbuat hanya dari batu. Kami berjalan memutar dari pintu belakang, dan di sisi gereja tampak piagam-piagam batu bertulisan nama orang-orang Katolik Vietnam yang telah meninggal. Mungkin semasa hidup mereka adalah para sponsor pembangunan gereja ini. Sesampai di depan gereja barulah saya menyadari betapa cantiknya katedral bergaya gotik ini, sekalipun tanpa cat seoles pun. Bagian tengahnya menjulang tinggi, seolah menggapai langit. Saat saya ke sana, gereja ini tengah berhias bunga sampai ke bangku-bangkunya, yang menandakan di sini baru saja terucap ikrar sepasang pengantin.
Kunjungan berlanjut ke Pagoda Long Son, yang merupakan tempat peribadatan umat Buddha yang paling besar di Nha Trang. Begitu memasuki pintu gerbangnya, terentang jalan panjang yang membawa kami ke tempat sembahyang yang ‘dijaga’ patung-patung naga. Memandang ke atas, tampak patung Buddha, putih dan besar, duduk bersila di takhta bunga teratai. Bila sempat dan kuat mendaki 150 anak tangga, dari sana Anda bisa menyaksikan pemandangan kota pantai yang cantik.
Keberadaan gereja di samping kuil Buddha di kota-kota yang kami kunjungi membuat saya meyakini bahwa agama Katolik sama berakarnya dengan agama Buddha di Vietnam, sebagai pengaruh pendudukan Prancis selama sekitar satu abad, dimulai pertengahan abad ke 19. Saat menulis kisah ini terkenang saya akan patung Bunda Maria di pekarangan gereja yang disambangi begitu banyak umat setempat, sehingga saya gagal mendapat foto yang ‘bersih’.
Kompleks peribadatan agama Buddha aliran Zen yang diresmikan pada 1993 ini dibangun di atas bekas-bekas pagoda tua abad lalu. Sebagian ubinnya tetap dipakai sebagai kenang-kenangan berharga. Tempat ini memiliki asrama yang dihuni biarawan-biarawati dan terbuka bagi peziarah yang ingin mendalami agama selama satu-dua minggu. Masih meresapi kenyamanan Truc Lam, tak terasa kami tiba di XQ Historical Village, kompleks yang menggambarkan suasana desa Vietnam. ‘Desa’ ini didirikan pada 1994 oleh suami istri seniman dari kota Hue, bernama Hoang Thi Xuan (X) dan Vo Van Quan (Q).
Berkat jerih payah merekalah kini kami bisa berjalan-jalan santai di sini, mengunjungi paviliun-paviliun yang memamerkan dan menjual aneka benda dari sutera, termasuk lukisan berupa sulaman di atas sutera. Kami juga menikmati nyamannya serambi tempat ‘penduduk desa’ mendengarkan pembacaan puisi sambil minum teh sore-sore, kebun-kebun lengkap dengan sungai, jembatan, serta kolam berisi teratai dan ikan koi. Sebagian peserta tur tak tahan untuk tidak berbelanja cinderamata khas Vietnam, dilayani gadis-gadis ramping berbusana tradisional Ao Dai. Saya mendapat info, sebagai pusat kesenian, sewaktu-waktu di sini juga diadakan workshop menyulam dan menjahit, juga wisata boga dengan hidangan khas Vietnam.
Nha Trang, Bali-nya Vietnam
Nha Trang kami capai dengan menggunakan bus ke arah timur. Begitu sampai di sana kami diajak naik kapal berukuran sedang ke sebuah desa nelayan, di mana seorang teman membeli rajungan langsung dari pukatnya. Dari situ kami bersantap siang di Pulau Mini Beach yang pantainya sebagian berbatu-batu dan sebagian lagi berpasir putih. Ombak mengempas berirama dari laut yang biru bersih, membuat saya hampir terlelap di kursi baring yang beralaskan matras putih.
Pantai yang sama bersihnya kami saksikan di Sailing Club, di pantai Nha Trang, tempat kami bersantap siang pada hari kedua. Tak heran kalau kota ini ‘dijual’ kepada turis Indonesia sebagai ‘Bali-nya Vietnam’. Bagi saya sendiri, Nha Trang terasa membetahkan, karena pantai dapat dicapai dengan berjalan kaki dari hotel kami.
Di kota ini kami mengunjungi katedral yang disebut Gereja Batu, karena terbuat hanya dari batu. Kami berjalan memutar dari pintu belakang, dan di sisi gereja tampak piagam-piagam batu bertulisan nama orang-orang Katolik Vietnam yang telah meninggal. Mungkin semasa hidup mereka adalah para sponsor pembangunan gereja ini. Sesampai di depan gereja barulah saya menyadari betapa cantiknya katedral bergaya gotik ini, sekalipun tanpa cat seoles pun. Bagian tengahnya menjulang tinggi, seolah menggapai langit. Saat saya ke sana, gereja ini tengah berhias bunga sampai ke bangku-bangkunya, yang menandakan di sini baru saja terucap ikrar sepasang pengantin.
Kunjungan berlanjut ke Pagoda Long Son, yang merupakan tempat peribadatan umat Buddha yang paling besar di Nha Trang. Begitu memasuki pintu gerbangnya, terentang jalan panjang yang membawa kami ke tempat sembahyang yang ‘dijaga’ patung-patung naga. Memandang ke atas, tampak patung Buddha, putih dan besar, duduk bersila di takhta bunga teratai. Bila sempat dan kuat mendaki 150 anak tangga, dari sana Anda bisa menyaksikan pemandangan kota pantai yang cantik.
Keberadaan gereja di samping kuil Buddha di kota-kota yang kami kunjungi membuat saya meyakini bahwa agama Katolik sama berakarnya dengan agama Buddha di Vietnam, sebagai pengaruh pendudukan Prancis selama sekitar satu abad, dimulai pertengahan abad ke 19. Saat menulis kisah ini terkenang saya akan patung Bunda Maria di pekarangan gereja yang disambangi begitu banyak umat setempat, sehingga saya gagal mendapat foto yang ‘bersih’.
Belinda Gunawan