Kawasan Dago Pakar, Bandung, adalah magnet bagi para pencari ketenangan. Terletak di ketinggian, beriklim sejuk, rimbun dengan kontur tanah berbukit. Pohon-pohon tua tumbuh dengan bebas. Dulu, Belanda dan Jepang hidup dengan membangun markas tentara di sana. Jejaknya bisa dilihat di Gua Belanda dan Gua Jepang.
Kawasan Dago Pakar tengah bertransformasi menjadi kawasan kuliner dan pemukiman. Banyak restoran dibangun dengan menjual pemandangan kota dari ketinggian. Rumah-rumah pun mulai berdiri, salah satunya milik keluarga Elly Hutabarat, pendiri biro perjalanan Pantravel dan Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan (Astindo). Bandung memang punya tempat istimewa di hati Elly. Ia pernah sekolah di sana. Selain itu, Elly suka dengan udara, kuliner, rumah-rumah dan orang-orang di Bandung. “Sejak dulu saya memang ingin sekali punya rumah di Bandung.”
Dari kejauhan, atap sirap yang berdiri di ketinggian 700 mdpl itu sudah terlihat menjulang. Warna cokelatnya kontras dengan biru cerah langit Kota Bandung. Ambil foto dengan kamera apa saja, Anda akan mendapat gambar layaknya pada kartupos. Elly sangat menyukai atap sirap, “Seperti rumah-rumah di Bandung zaman dulu.”
Inspirasi itu datang dari rumah-rumah kuno ala Belanda, juga elemen desain klasik era Barok. Namun di sisi lain, Elly ingin rumahnya tetap modern. Ia membayangkan rumah-rumah di pegunungan di kawasan Skandinavia. Andra Matin adalah arsitek papan atas Indonesia, orang di balik desain toko buku Aksara, galeri Gedung Dua8, juga gedung komunitas seni Salihara. Ketika Elly meminta Andra untuk menangani rumahnya, mereka menghabiskan seharian di lokasi. “Sangatlah penting untuk duduk bersama arsitek,” jelas Elly. “Kasih tahu apa yang kita inginkan, tapi juga jangan terlalu interfere. Mereka tahu soal hal-hal yang tidak kita mengerti.”
Desain arsitektur Andra terkenal ‘bersih’, modern, straight forward dan memberi perhatian khusus pada ruang. Ia peka terhadap lingkungan sekitar bangunan, juga pada keseimbangan antara cahaya dan bayangan. Karakter itu terasa ketika memasuki rumah Elly. Mulanya seperti labirin. Ini salah satu yang paling disukai Elly. Dinding-dinding beton yang mulus, bergeometri tegas dan tanpa polesan cat, menuntun pengunjung berkelok-kelok dari lokasi parkir ke dalam rumah. Pohon-pohon pinus mengiringi langkah. Di beberapa sudut terdapat jacaranda, tanaman sub-tropis dari Australia. Elly berharap iklim di Bandung cukupkering sehingga bunganya yang berwarna ungu bisa tumbuh mekar. Di ujung jalan, terdapat lorong menuju dua kamar tidur dan tangga menuju ruang utama di bagian atas. Di tengah terik Bandung hari itu, rumah terasa adem. Beton pada lantai dan rangka menyerap dingin, begitu pula kayu yang menjadi elemen dominan di sana.
Elly banyak menggunakan kayu jati Belanda untuk dinding, lantai dan langit-langit. Kayu ini berwarna kuning terang, dengan urat yang terlihat jelas, ringan dan tahan lama. Kayu jati Belanda tidak tumbuh di Belanda. Istilah itu berasal dari kebiasaan orang-orang Belanda yang menggunakannya sebagai material peti kemas. Nama Inggris-nya pine oak. Di Jawa, kayu itu disebut jati londo.
Lantai satu rumah terdiri atas tiga ruang besar—sebuah kamar, ruang tengah, dan ruang makan. Ketiganya sejajar. Di sisi selatan hanya kaca yang memisahkan bagian dalam ketiga ruang itu dengan teras rumah. Jika kaca digeser, jadilah ruang terbuka. Angin dengan leluasa mengisi ruang. Dari sisi timur, cahaya pagi menerobos masuk dengan dramatis.
Berbagai furnitur seperti meja dan sofa, menghiasi ruang tengah dengan layar TV di samping perapian sebagai pusat. Untuk mengisi rumah, Elly banyak menggunakan furnitur dari Crate & Barrel asal Singapura, atau dari Amerika Serikat. Furnitur minimalis itu terasa pas dipadukan dengan karya seni dengan teknik linocut. “Itu anak saya, Winfred Hutabarat, yang memilih. Dia yang mengerti ke mana mesti mencari,” jelas Elly. Sebuah lemari jati berdiri beberapa meter dari TV. Lemari itu nyaris kosong, kecuali di bagian rak atas, beberapa cangkir mungil tersusun rapi. Cangkir-cangkir itu berasal dari Belanda. “Sejarahnya panjang. Usianya sekitar 40 tahun,” jelas Elly. Di atas lemari, tersisa dua botol Maison Louis Jadot, wine Prancis yang sejarahnya dimulai sejak 1859.
Kehangatan adalah impresi terkuat yang muncul saat saya berkunjung ke rumah Elly, pun di tengah sejuknya udara Bandung. Alasan Elly memilih elemen kayu memang untuk menimbulkan suasana hangat dan akrab. Stephanie Jasmine, seorang desainer interior, pernah mengatakan bahwa satu syarat interior yang baik adalah mampu memberi efek psikologis pada penghuninya. “Setiap tiba di rumah, efek yang saya rasakan adalah kehangatan,” kata Elly. Bagaimanapun, rasanya tak ada yang lebih merepresentasikan kehangatan itu lebih dari ruang ukuran kecil di lantai atas. Sebuah tangga melingkar membawa saya ke lantai dua. Sinar matahari memberi penerangan alami melalui sisi barat yang berdinding kaca, juga melalui celah-celah di atap. Ruang itu serupa loteng yang disulap menjadi ruang baca. Selain sofa, meja pendek dan TV, ada beberapa rak minimalis yang dirancang rendah. Rak-rak itu menyatu membentuk kotak yang mengelilingi keseluruhan ruang. Pada rak tersebut, ratusan buku tersusun rapi: The Bridge karya David Remnick, editor majalah The New Yorker, Status Anxiety karya filsuf modern Alain de Botton, dan banyak sekali buku arsitektur modern dan kuliner.
Kata orang, “Home is where the hearts belongs.” Namun bagi Elly, rumah juga merupakan tempat pulang dan berkumpulnya orang-orang terdekat. “Saya senang sekali mengundang adik-adik saya, atau teman-teman untuk datang ke rumah.” Pertemuan-pertemuan, perbincangan yang terjadi, dan kehangatan yang tercipta, menjadi momen berharga yang akan melekat untuk jangka waktu yang lama. Itu semua menjadi kisah yang terlahir dari rumah indah di gigir bukit Tanah Sunda.
Kawasan Dago Pakar tengah bertransformasi menjadi kawasan kuliner dan pemukiman. Banyak restoran dibangun dengan menjual pemandangan kota dari ketinggian. Rumah-rumah pun mulai berdiri, salah satunya milik keluarga Elly Hutabarat, pendiri biro perjalanan Pantravel dan Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan (Astindo). Bandung memang punya tempat istimewa di hati Elly. Ia pernah sekolah di sana. Selain itu, Elly suka dengan udara, kuliner, rumah-rumah dan orang-orang di Bandung. “Sejak dulu saya memang ingin sekali punya rumah di Bandung.”
Dari kejauhan, atap sirap yang berdiri di ketinggian 700 mdpl itu sudah terlihat menjulang. Warna cokelatnya kontras dengan biru cerah langit Kota Bandung. Ambil foto dengan kamera apa saja, Anda akan mendapat gambar layaknya pada kartupos. Elly sangat menyukai atap sirap, “Seperti rumah-rumah di Bandung zaman dulu.”
Inspirasi itu datang dari rumah-rumah kuno ala Belanda, juga elemen desain klasik era Barok. Namun di sisi lain, Elly ingin rumahnya tetap modern. Ia membayangkan rumah-rumah di pegunungan di kawasan Skandinavia. Andra Matin adalah arsitek papan atas Indonesia, orang di balik desain toko buku Aksara, galeri Gedung Dua8, juga gedung komunitas seni Salihara. Ketika Elly meminta Andra untuk menangani rumahnya, mereka menghabiskan seharian di lokasi. “Sangatlah penting untuk duduk bersama arsitek,” jelas Elly. “Kasih tahu apa yang kita inginkan, tapi juga jangan terlalu interfere. Mereka tahu soal hal-hal yang tidak kita mengerti.”
Desain arsitektur Andra terkenal ‘bersih’, modern, straight forward dan memberi perhatian khusus pada ruang. Ia peka terhadap lingkungan sekitar bangunan, juga pada keseimbangan antara cahaya dan bayangan. Karakter itu terasa ketika memasuki rumah Elly. Mulanya seperti labirin. Ini salah satu yang paling disukai Elly. Dinding-dinding beton yang mulus, bergeometri tegas dan tanpa polesan cat, menuntun pengunjung berkelok-kelok dari lokasi parkir ke dalam rumah. Pohon-pohon pinus mengiringi langkah. Di beberapa sudut terdapat jacaranda, tanaman sub-tropis dari Australia. Elly berharap iklim di Bandung cukupkering sehingga bunganya yang berwarna ungu bisa tumbuh mekar. Di ujung jalan, terdapat lorong menuju dua kamar tidur dan tangga menuju ruang utama di bagian atas. Di tengah terik Bandung hari itu, rumah terasa adem. Beton pada lantai dan rangka menyerap dingin, begitu pula kayu yang menjadi elemen dominan di sana.
Elly banyak menggunakan kayu jati Belanda untuk dinding, lantai dan langit-langit. Kayu ini berwarna kuning terang, dengan urat yang terlihat jelas, ringan dan tahan lama. Kayu jati Belanda tidak tumbuh di Belanda. Istilah itu berasal dari kebiasaan orang-orang Belanda yang menggunakannya sebagai material peti kemas. Nama Inggris-nya pine oak. Di Jawa, kayu itu disebut jati londo.
Lantai satu rumah terdiri atas tiga ruang besar—sebuah kamar, ruang tengah, dan ruang makan. Ketiganya sejajar. Di sisi selatan hanya kaca yang memisahkan bagian dalam ketiga ruang itu dengan teras rumah. Jika kaca digeser, jadilah ruang terbuka. Angin dengan leluasa mengisi ruang. Dari sisi timur, cahaya pagi menerobos masuk dengan dramatis.
Berbagai furnitur seperti meja dan sofa, menghiasi ruang tengah dengan layar TV di samping perapian sebagai pusat. Untuk mengisi rumah, Elly banyak menggunakan furnitur dari Crate & Barrel asal Singapura, atau dari Amerika Serikat. Furnitur minimalis itu terasa pas dipadukan dengan karya seni dengan teknik linocut. “Itu anak saya, Winfred Hutabarat, yang memilih. Dia yang mengerti ke mana mesti mencari,” jelas Elly. Sebuah lemari jati berdiri beberapa meter dari TV. Lemari itu nyaris kosong, kecuali di bagian rak atas, beberapa cangkir mungil tersusun rapi. Cangkir-cangkir itu berasal dari Belanda. “Sejarahnya panjang. Usianya sekitar 40 tahun,” jelas Elly. Di atas lemari, tersisa dua botol Maison Louis Jadot, wine Prancis yang sejarahnya dimulai sejak 1859.
Kehangatan adalah impresi terkuat yang muncul saat saya berkunjung ke rumah Elly, pun di tengah sejuknya udara Bandung. Alasan Elly memilih elemen kayu memang untuk menimbulkan suasana hangat dan akrab. Stephanie Jasmine, seorang desainer interior, pernah mengatakan bahwa satu syarat interior yang baik adalah mampu memberi efek psikologis pada penghuninya. “Setiap tiba di rumah, efek yang saya rasakan adalah kehangatan,” kata Elly. Bagaimanapun, rasanya tak ada yang lebih merepresentasikan kehangatan itu lebih dari ruang ukuran kecil di lantai atas. Sebuah tangga melingkar membawa saya ke lantai dua. Sinar matahari memberi penerangan alami melalui sisi barat yang berdinding kaca, juga melalui celah-celah di atap. Ruang itu serupa loteng yang disulap menjadi ruang baca. Selain sofa, meja pendek dan TV, ada beberapa rak minimalis yang dirancang rendah. Rak-rak itu menyatu membentuk kotak yang mengelilingi keseluruhan ruang. Pada rak tersebut, ratusan buku tersusun rapi: The Bridge karya David Remnick, editor majalah The New Yorker, Status Anxiety karya filsuf modern Alain de Botton, dan banyak sekali buku arsitektur modern dan kuliner.
Kata orang, “Home is where the hearts belongs.” Namun bagi Elly, rumah juga merupakan tempat pulang dan berkumpulnya orang-orang terdekat. “Saya senang sekali mengundang adik-adik saya, atau teman-teman untuk datang ke rumah.” Pertemuan-pertemuan, perbincangan yang terjadi, dan kehangatan yang tercipta, menjadi momen berharga yang akan melekat untuk jangka waktu yang lama. Itu semua menjadi kisah yang terlahir dari rumah indah di gigir bukit Tanah Sunda.