Ada dua cara jika sastra Indonesia ingin dikenal dunia: Mengajari dunia Bahasa Indonesia, dan yang kedua, menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam berbagai bahasa. Hal ini diungkapkan penulis Eka Kurniawan dalam acara Diskusi Sastra di Institut Français Indonesia (IFI) Jakarta, 25 Februari 2016.
Jika cara yang pertama terlalu ekstrem, maka cara kedua lebih masuk akal untuk diwujudkan. Namun Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal penerjemahan ini. “Saya menulis dan menerbitkan "Cantik Itu Luka" (novel) tahun 2002, namun mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa tahun 2015. Situasi itu sangat menggambarkan bagaimana penerjemahan karya sastra di negeri ini karena tidak ada yang mempromosikan sama sekali,” ungkap Eka. “Pemerintah perlu membuat program terencana dan dikerjakan secara reguler.”
Tahun lalu, Indonesia terpilih sebagai Guest of Honour di Frankfurt Book Fair (FBF). Dalam persiapan menuju FBF tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerjemahkan berbagai buku berbahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Buku-buku terjemahan tersebut dibawa ke FBF untuk memperkenalkan para penulis dan karyanya. Eka Kurniawan adalah salah satu penulis yang berangkat ke FBF. Namun, sebelum terpilih untuk berangkat ke Frankfurt, karya-karya Eka telah lebih dulu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. "Cantik Itu Luka", novel pertamanya, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dipublikasikan di Amerika Serikat oleh penerbit New Direction saat itu. Hingga kini, "Cantik Itu Luka' telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa. Sedangkan novel kedua, "Lelaki Harimau" (2014), kini telah diterjemahkan ke dalam 5 bahasa: Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Korea. “Saya tidak pernah bertanya mengapa mereka (penerbit) ingin menerjemahkan karya saya,” kata Eka.
Kehadiran Eka Kurniawan di IFI Jumat lalu adalah awal bagi IFI untuk memperkenalkan penulis Indonesia ke masyarakat Prancis dan sebaliknya, penulis Prancis ke masyarakat Indonesia. IFI berencana menggelar acara diskusi sastra secara rutin, menghadirkan penulis Indonesia atau penulis Prancis. Ditanya soal penulis Prancis yang ingin ditemuinya, Eka menjawab ia membaca karya Michel Houellebecq dan Patrick Modiano yang memenangkan Nobel Kesusastraaan 2014. Eka juga membaca Albert Camus. Tetapi Eka ingin bertemu Patrick Modiano. Sayangnya Patrick tidak suka bepergian dan hidupnya hanya berputar di Paris. Jadi, kecil kemungkinan Patrick Modiano akan berkunjung ke Jakarta dan menghadiri diskusi sastra di IFI.
Eka Kurniawan juga bercerita soal novel keduanya, "Lelaki Harimau", yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis.“Ini bermula dari kejadian pembunuhan yang saya dengar, lalu saya berniat menuliskannya sebagai laporan jurnalistik. Tetapi laporan jurnalistik seperti itu berat dan susah, jadi lebih baik saya menuliskannya sebagai fiksi yang digabungkan dengan berbagai elemen kedaerahan,” kenang Eka.
Pada saat mengerjakan novel tersebut, Eka ingat pernah bertemu temannya yang bercerita bahwa ia terjatuh karena dikirimkan harimau dari pamannya. Kisah temannya yangpercaya bahwa ada harimau tak kasat mata yang menyerangnya itu membuat Eka teringat kepada mitologi harimau putih yang dipercaya oleh masyarakat Sunda. Inilah yang membuat novel "Lelaki Harimau"dibumbui cerita rakyat.
Dalam setiap penerjemahan karyanya, Eka biasa memberikan berbagai referensi yang bisa dibaca oleh penerjemahnya agar sang penerjemah memahami istilah-istilah yang tidak dipahami karena perbedaan kebudayaan. “Sebisa mungkin saya membantu mereka dengan banyak data. Saya juga memberikan foto-foto, misalnya untuk menjelaskan patung Siliwangi. Saya juga memberi penjelasan mana kalimat yang bertujuan satir, atau mana kalimat puitik,” jelasnya.
Menutup diskusi sore itu, Eka menceritakan novel terbarunya, "O", tentang seekor monyet betina yang ingin menikah dengan kaisar dangdut, karena yakin sang kaisar adalah reinkarnasi kekasihnya. “Boleh dibilang novel ini adalah fabel,” ujar Eka. Selama ini ia tak menyadari bahwa novel-novelnya menggunakan elemen binatang, misalnya harimau, burung, dan yang terakhir adalah monyet. Novel ketiga, "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas", pada cover-nya menggunakan gambar burung. Novel ketiga ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh penerbit New Direction. Apakah novel "O' akan diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti novel-novel sebelumnya? Kita tunggu bersama perkembangan novel ini.
Tertarik dengan resensi buku, film atau kuliner lain? Baca di sini.