Sri Lanka - dulu disebut Ceylon- adalah sebuah negara pulau di Asia Selatan. Ia bertetangga dengan India di bagian tenggara, dan Maladewa (Maldives) di sebelah barat lautnya. Dikelilingi pelabuhan-pelabuhan berair dalam membuat negeri mungil ini dahulu menjadi bagian yang strategis dari Jalur Sutra. Pada tahun 1972, Sri Lanka resmi menjadi negara merdeka setelah sebelumnya menjadi negara jajahan Inggris. Karena itu, meskipun bahasa resmi negara ini adalah Sinhalese dan Tamil. Bahasa Inggris masih cukup banyak digunakan, terutama di kalangan terpelajar.
Begitu mendarat di Bandara International Airport di Colombo, ibu kota Sri Lanka, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi suasana yang semrawut dan hiruk pikuk. Nyatanya, yang saya temukan adalah sebuah bandara mungil yang teratur, bersih, dan nyaris senyap. Begitu memasuki KOta Colombo, yang langsung menarik perhatian saya adalah kotanya yang bersih, tanpa serakan sampah di setiap sudutnya -meskipun tetap berdebu karena udaranya memang panas, bahkan lebih panas dari Jakarta.
Masyarakatnya juga terhitung 'beradab' dalam berlalu lintas. Ini saya buktikan sendiri ketika hendak menyeberang jalan. Meksipun lampu hijau untuk pejalan kaki belum menyala, setiap kali ada orang yang berdiri di pinggir jalan dan bermaksud menyeberang di zebra cross, para pengendara mobil dan motor akan menghentikan kendaraan mereka untuk memberi kesempatan orang itu menyeberang. Tampaknya ini merupakan warisan positif dari masa kolonial Inggris.
Yang juga tak kalah menarik, sebagia negara multikultural, Sri Lanka merupakan rumah yang nyaman bagi berbagai agama, kelompok, etnis, dan bahasa. Penduduknya terdiri atas Suku Sinhalese (berasal dari India Utara yang kini merupakan kelompok suku terbesar di Sri Lanka), Tamil India, Arab, Melayu, Vedda (penduduk asli Sri Lanka), dan sebagainya. Ada pun agama mayoritas penduduk Sri Lanka (69%) adalah Buddha Mahayana yang jejaknya bisa ditelusuri hingga ke tahun 29 SM.
Meskipun cuaca cukup menyengat (padahal di bulan Oktober), kami memutuskan untuk mengenal sudut-sudut Colombo dengan berjalan kaki. Jarak dari hotel tempat kami menginap ke pusat kota sekitar setengah jam jalan kaki. Kondisi kotanya mengingatkan saya pada Jakarta di awal tahun 80-an. Begitu bersahaja. Hanya ada satu mal dua lantai -yang merupakan mal termewah di Colombo- meskipun kami tidak mampir ke sana. Selanjutnya pemandu wisata mengajak kami ke wilayah kota tua, yang dipenuhi gedung-gedung peninggalan zaman kolonial. Umumnya bergaya Eropa dengan sentuhan India atau Arab.
Salah satu gedung bersejarah yang terkenal adalah Old Colombo Dutch Hospital. Setelah direnovasi, kompleks gedung ini kemudian digunakan sebagai shopping area yang di dalamnya terdapat sejumlah butik dan restoran. Restoran yang paling terkenal bernama Ministry or Crab. Sayangnya kami tak sempat bersantap di sana, karena menurut pemandu wisata kami, untuk bisa makan di situ kita harus reservasi dulu sebulan sebelumnya.
Sebuah gedung tua berwarna merah dengan gaya arsitektur Moor berdiri di tengah-tengah keramaian kota. Rupanya itu adalah masjid tertua di Colombo atau biasa disebut Masjid Merah. Tak jauh dari situ berdiri dengan damai sebuah kuil Hindu yang meriah dan berwarna-warni. Dan karena saya punya kebiasaan untuk mengunjungi pasar tradisional di setiap kota dan negara, saya pun diajak ke Tangalia Market, pasar basah terbesar di Colombo. Sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar itu ternyata tak banyak berbeda dengan yang dijual di pasar-pasar di Tanah Air. Namun tetap saja saya senang melihat tumpukan buah delima, okra, terung beraneka jenis, cabai, dan jantung pisang yang terhampar di kios-kiosnya.
Gangaramaya Temple merupakan kuil Buddha terbesar di Colombo adalah tujuan kami selanjutnya. Pendeta Buddha di Sri Lanka umumnya adalah penganut aliran Mahayana. Arsitektur kuil yang didirikan pada abad ke-19 ini unik karena merupakan campuran dari budaya Sri Lanka, Thailand, India, dan Tiongkok, dengan patung-patung Buddha kecil yang tersusun rapi. Namun, kalau dibandingkan dengan Candi Borobudur, sih, tentu saja kuil ini tidak ada apa-apanya."
Begitu mendarat di Bandara International Airport di Colombo, ibu kota Sri Lanka, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi suasana yang semrawut dan hiruk pikuk. Nyatanya, yang saya temukan adalah sebuah bandara mungil yang teratur, bersih, dan nyaris senyap. Begitu memasuki KOta Colombo, yang langsung menarik perhatian saya adalah kotanya yang bersih, tanpa serakan sampah di setiap sudutnya -meskipun tetap berdebu karena udaranya memang panas, bahkan lebih panas dari Jakarta.
Masyarakatnya juga terhitung 'beradab' dalam berlalu lintas. Ini saya buktikan sendiri ketika hendak menyeberang jalan. Meksipun lampu hijau untuk pejalan kaki belum menyala, setiap kali ada orang yang berdiri di pinggir jalan dan bermaksud menyeberang di zebra cross, para pengendara mobil dan motor akan menghentikan kendaraan mereka untuk memberi kesempatan orang itu menyeberang. Tampaknya ini merupakan warisan positif dari masa kolonial Inggris.
Yang juga tak kalah menarik, sebagia negara multikultural, Sri Lanka merupakan rumah yang nyaman bagi berbagai agama, kelompok, etnis, dan bahasa. Penduduknya terdiri atas Suku Sinhalese (berasal dari India Utara yang kini merupakan kelompok suku terbesar di Sri Lanka), Tamil India, Arab, Melayu, Vedda (penduduk asli Sri Lanka), dan sebagainya. Ada pun agama mayoritas penduduk Sri Lanka (69%) adalah Buddha Mahayana yang jejaknya bisa ditelusuri hingga ke tahun 29 SM.
Meskipun cuaca cukup menyengat (padahal di bulan Oktober), kami memutuskan untuk mengenal sudut-sudut Colombo dengan berjalan kaki. Jarak dari hotel tempat kami menginap ke pusat kota sekitar setengah jam jalan kaki. Kondisi kotanya mengingatkan saya pada Jakarta di awal tahun 80-an. Begitu bersahaja. Hanya ada satu mal dua lantai -yang merupakan mal termewah di Colombo- meskipun kami tidak mampir ke sana. Selanjutnya pemandu wisata mengajak kami ke wilayah kota tua, yang dipenuhi gedung-gedung peninggalan zaman kolonial. Umumnya bergaya Eropa dengan sentuhan India atau Arab.
Salah satu gedung bersejarah yang terkenal adalah Old Colombo Dutch Hospital. Setelah direnovasi, kompleks gedung ini kemudian digunakan sebagai shopping area yang di dalamnya terdapat sejumlah butik dan restoran. Restoran yang paling terkenal bernama Ministry or Crab. Sayangnya kami tak sempat bersantap di sana, karena menurut pemandu wisata kami, untuk bisa makan di situ kita harus reservasi dulu sebulan sebelumnya.
Sebuah gedung tua berwarna merah dengan gaya arsitektur Moor berdiri di tengah-tengah keramaian kota. Rupanya itu adalah masjid tertua di Colombo atau biasa disebut Masjid Merah. Tak jauh dari situ berdiri dengan damai sebuah kuil Hindu yang meriah dan berwarna-warni. Dan karena saya punya kebiasaan untuk mengunjungi pasar tradisional di setiap kota dan negara, saya pun diajak ke Tangalia Market, pasar basah terbesar di Colombo. Sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar itu ternyata tak banyak berbeda dengan yang dijual di pasar-pasar di Tanah Air. Namun tetap saja saya senang melihat tumpukan buah delima, okra, terung beraneka jenis, cabai, dan jantung pisang yang terhampar di kios-kiosnya.
Gangaramaya Temple merupakan kuil Buddha terbesar di Colombo adalah tujuan kami selanjutnya. Pendeta Buddha di Sri Lanka umumnya adalah penganut aliran Mahayana. Arsitektur kuil yang didirikan pada abad ke-19 ini unik karena merupakan campuran dari budaya Sri Lanka, Thailand, India, dan Tiongkok, dengan patung-patung Buddha kecil yang tersusun rapi. Namun, kalau dibandingkan dengan Candi Borobudur, sih, tentu saja kuil ini tidak ada apa-apanya."