
Beruntunglah Anda bila memiliki hobi yang sama dengan suami. Selain sama-sama senang menjalaninya, kebersamaan dan kemesraan pun terpelihara. Karena sama-sama hobi traveling, pasangan berikut ini menikmati proses mulai dari membuat perencanaan, merancang itinerary, mengumpulkan dana, dan sebagainya. Simak kisahnya berikut ini:
A. Fuadi (39) & Danya Dewanti (35), Susah Senang Bersama
Meski pernah sekantor sebagai jurnalis mingguan Tempo, mereka baru tahu bahwa keduanya sama-sama hobi 'keluyuran' setelah menikah, 11 tahun lalu. Tak lama setelah menikah, Fuadi –penulis novel Lima Menara dan Ranah 3 Warna-- melanjutkan kuliah ke Washington DC, dan Danya –biasa disapa Yayi-- menyusul 6 bulan kemudian.
Ketika musim panas tiba, mereka memutuskan untuk melakukan liburan bersama untuk pertama kalinya, dengan melakukan perjalanan naik bus (Greyhound) dari Washington ke
New York. “Di situlah saya baru tahu kalau Yayi ternyata hobi berat traveling. Apalagi –di sela-sela kuliahnya-- dia bekerja paruh waktu di biro perjalanan, jadi dia tahu betul bagaimana mencari cara traveling yang murah. Klop deh, karena saya juga suka traveling,” kata Fuadi.
Sejak itu, traveling menjadi agenda tetap pasangan yang belum dikaruniai anak ini. Untuk tujuan wisata lokal, mereka bisa melakukan kapan saja, termasuk di akhir minggu. “Tapi, setahun sekali kami 'wajib' melakukan traveling besar yang direncanakan dengan seksama. Biasanya sih, ke luar negeri selama tiga minggu, supaya bisa mengunjungi beberapa negara sekaligus,” ujar Yayi. Sebagai karyawan sebuah perusahaan minyak multinasional, ia memang punya jatah cuti sebulan dalam setahun yang bisa diambil sekaligus. Sementara Fuadi yang memilih jadi full time writer, waktunya lebih fleksibel.
Karena sama-sama hobi traveling, keduanya menikmati proses mulai dari membuat perencanaan, merancang itinerary, mengumpulkan dana, dan sebagainya. “Baru membuat perencanaan saja rasanya kami sudah excited banget, apalagi kalau waktunya semakin dekat,” kata Yayi, tertawa.
Meskipun begitu, biasanya Yayi yang berperan lebih aktif dalam membuat perencanaan. “Soalnya dia yang paling rajin browsing data di internet atau dari buku-buku perjalanan. 'Kitab suci' dia adalah Lonely Planet. Infonya bahkan sampai detail sekali, sampai-sampai ketika tiba di tujuan, kami seperti sudah mengenal tempat itu. Saya sih, terima beres saja, paling-paling ikut memberi usulan sedikit-sedikit. Lagipula, pilihan dia biasanya sudah oke,” tambah Fuadi, yang setidaknya sudah menjelajahi lima benua dan 31 negara bersama Yayi.
Meski sudah direncanakan secara detail, perjalanan selalu memberi kejutan, yang asyik maupun menyebalkan. Hal itu juga dialami oleh Fuadi dan Yayi. Saat mengunjungi Shanghai, Cina, misalnya. Awalnya mereka agak cemas mengingat penduduk Cina umumnya tidak bisa berbahasa Inggris, bahkan tidak paham huruf latin. Siapa sangka mereka malah ketemu seorang pria Shanghai yang ternyata pandai berbahasa Arab. Dan karena Fuadi juga fasih berbahasa Arab, jadilah keduanya ngobrol akrab dalam bahasa Arab!
“Akhirnya kami malah diajak main ke rumahnya, dijamu makan siang, dan belanja di toko cendera mata milik keluarganya dengan harga diskon,” cerita Yayi.
Fuadi mengakui, pengalaman dan kebersamaan saat traveling makin mempererat hubungan batin mereka. “Karena, setiap kali menemukan masalah di perjalanan, kami memecahkannya bersama-sama. Kami juga menikmati pengalaman yang sama, melihat pemandangan yang sama, dan menanggung susah-senang sama-sama.”
Pernah berantem dalam perjalanan? Yayi tertawa. “Sering. Biasanya soal makanan. Saya senangnya coba-coba makanan setempat, sedangkan Fuadi maunya cari nasi melulu. Tapi
untungnya kami tak pernah berantem lama-lama. Sayang kan, sudah pergi jauh-jauh, malah dipakai bertengkar.”
Tina Savitri