Mungkin juga karena ditanam di lahan gambut, pisang goreng Pontianak jadi istimewa rasanya. Padahal cara menggorengnya sama saja dengan pisang goreng kita. Tetapi setelah saya perhatikan, pisang yang belum digoreng memang beda. Pisang kepok itu berwarna kuning, cukup tua, dan matang di pohon. Irisannya pun tebal-tebal, jadi ketika digigit, terasa kelezatan pisang, bukan rasa tepung goreng.
Tetapi yang dijagokan oleh kawan dari Pontianak adalah kopi, yang menurut dia lebih mantap dari kopi Starbuck atau kopi Ily. Pukul tujuh pagi kami sudah ‘digiring’ ke jalan Merapi menuju kedai kopi milik A Siang, yang paling banyak pengunjungnya. Di Kalimantan Barat memang bayak perkebunan kopi, dan kopi A Siang terbuat dari biji kopi asli Kalimantan Barat yang dia olah sendiri. Ia tidak mencampurkan gula. Kopi kental yang sudah disaring dan dijerang dalam teko tembaga, dituang ke dalam gelas dan cangkir yang sudah dipanaskan dan diberi susu kental manis. Berapa takarannya? Feeling A Sianglah yang menentukan, bahkan pada kopi yang tidak terlalu manis yang saya pesan. Mengikuti peminum kopi lain yang ada di warung itu kami juga memesan bubur ayam. Kombinasi yang belum pernah kami coba, tapi ternyata oke juga.
Kami masih punya waktu beberapa jam lagi sebelum menuju bandara. Kami melihat-lihat toko cendera mata dan mencari makanan yang belum kami coba. Kembang tahu kami icipi lagi (ketagihan!). Kembang tahu Pontianak ini dihidangkan dengan kuah susu kedelai dan pemanisnya adalah kacang kedelai tumbuk yang dicampur gula karamel. Beberapa jenis jajanan dari tepung ketan dan kuetiauw goreng (keistimewaannya pakai irisan babat rebus), kami coba dan komentari. Sampai kami heran sendiri pada kapasitas perut kami. Yang jelas, dalam pesawat, kami terlelap karena kekenyangan. Menurunkan berat badan adalah proyek kami selanjutnya.
Widarti Gunawan