Dalam Islam, perceraian memang dibolehkan meski sangat
dibenci oleh Allah. Kendati begitu bukan berarti Islam lantas
mempermudah proses rujuk. Dalam hukum Islam dikenal istilah talaq
atau talak, yang kurang lebih artinya cerai. Karena pada zaman itu
belum ada pengadilan agama, talak cukup dilakukan secara lisan oleh
pihak suami.
Pasangan suami istri hanya diberi kesempatan talak sebanyak 3 kali, dan pada talak ketiga, perceraian dianggap bersifat final. Apabila suami mengucap talak kepada istrinya, sebetulnya secara agama sudah terjadi perceraian. Namun, merujuk pada QS Al-Baqarah : 228, apabila suami meminta maaf dan meminta untuk rujuk dalam waktu tiga kali quru’ atau masa iddah (haid) istri, talak dianggap batal, dan suami istri bisa melanjutkan perkawinan tanpa harus melakukan akad nikah lagi. Namun bila suami baru minta rujuk setelah istri melewati tiga kali quru’, maka suami istri harus mengulang akad nikah, lengkap dengan mahar dan dua orang saksi. Namun bila suami untuk ketiga kalinya menjatuhkan talak kepada istrinya (biasa disebut talak tiga), berarti perceraian dianggap final dan suami istri tidak bisa rujuk kembali. Rujuk hanya boleh dilakukan apabila kedua pihak masing-masing telah menikah lagi dengan orang lain dan kemudian sama-sama bercerai (atau ditinggal mati pasangannya). Tapi dengan catatan ketat, perkawinan dan perceraian (dengan orang lain) itu terjadi secara normal, bukan hasil rekayasa.
“Ini membuktikan bahwa di mata agama (Islam), proses rujuk bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng, yang dengan mudah dilakukan hanya karena kedua pihak sama-sama ingin bersatu kembali dalam perkawinan,” jelas Dr. Ira Puspitawati, MPsi., psikolog dari Universitas Gunadarma,. “Apalagi kalau ingin rujuk setelah talak tiga, itu harus benar-benar dipertimbangkan dengan hati dan kepala dingin, bukan semata dorongan emosional, misalnya demi anak-anak. Karena, kalau talak sampai tiga kali terucap, berarti masalah yang ada di antara suami istri tidak main-main lagi dan kerap berulang.”
Niat dari dua belah pihak
Kendati begitu, niat untuk rujuk tetap harus diberi apresiasi dan didukung. Karena, pada kenyataannya tak banyak pasangan bercerai yang ‘berani’ untuk rujuk. Lebih banyak yang memilih menikah lagi dengan orang lain. Padahal, bila didasarkan niat yang tulus, banyak hal positif yang bisa dipetik dari rujuk.
Ira menjelaskan, meskipun mungkin tidak diperlihatkan ke luar, sesungguhnya perceraian merupakan salah satu gempuran psikologis paling hebat yang dialami manusia dalam hidupnya. “Lepas dari apa penyebabnya dan siapa yang salah, perceraian kerap dianggap sebagai bukti kegagalan seorang suami atau istri dalam membina perkawinan atau mempertahankan pasangannya, dan hal itu merupakan pukulan batin yang menyakitkan.”
Gempuran psikologis yang hebat tak mustahil mampu mengubah karakter atau kebiasaan (buruk) seseorang, bahkan secara drastis. “Mungkin ada yang beranggapan, suami yang tukang selingkuh atau suka memukul tidak akan bisa berubah sampai kapan pun. Tapi bila kebiasaan buruk itu berakhir dengan perceraian yang menyakitkan, bukan mustahil dia akan bersedia mengubah diri secara total apabila diberi kesempatan untuk merajut kembali perkawinan yang terputus. Apalagi, sering kali kita baru menyadari betapa berharganya seseorang (pasangan kita) setelah kita kehilangan dia,” Ira menjelaskan.
Namun, agar rujuk berakhir dengan baik bagi semua pihak, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang:
1. Telaah semua sikap sikap dan perilaku yang berkontribusi dalam perceraian, sehingga setelah rujuk tidak terjebak lagi dalam masalah yang sama. Ciptakan keterbukaan terhadap setiap perubahan yang positif, yang mendukung keutuhan rumah tangga. Dalam kasus-kasus tertentu, ini jelas bukan perkara mudah. Teh Ninih, misalnya, dulu bercerai karena tidak mau dipoligami. Padahal, setelah rujuk pun ia tetap dipoligami.
2. Niat rujuk harus datang dari kedua belah pihak (suami dan istri). “Dalam perkawinan ada dua pihak yang sama-sama berperan hingga terjadinya perceraian, sehingga untuk rujuk pun niat harus datang dari kedua pihak. Keduanya juga harus mau melakukan usaha yang sama besar untuk memperbaiki hubungan yang pernah cedera,” ujar Ira. Bila keinginan hanya datang dari salah satu pihak, lebih baik pikir-pikir lagi niat Anda untuk rujuk.
3. Sembuhkan dulu luka-luka lama. Dalam hal ini, kemauan dan kemampuan untuk memberi maaf dan meminta maaf menjadi kata kunci. Perlu suatu ketulusan dan keikhlasan, karena dalam maaf terkandung proses yang melibatkan perubahan emosi dan sikap yang didorong oleh keputusan sukarela untuk meminta maaf ataupun memaafkan, sehingga tak ada lagi dorongan untuk membalas dendam atau mempertahankan pembenaran atas perilaku yang dulu menyebabkan perceraian.
4. Jangan menoleh lagi ke belakang. Fokuslah ke masa depan. Pelajari dan terapkan hal-hal yang berpotensi menguatkan ikatan suami istri yang dahulu mungkin terabaikan, misalnya agama, komunikasi, kedekatan dengan keluarga besar, dan sebagainya.
Pasangan suami istri hanya diberi kesempatan talak sebanyak 3 kali, dan pada talak ketiga, perceraian dianggap bersifat final. Apabila suami mengucap talak kepada istrinya, sebetulnya secara agama sudah terjadi perceraian. Namun, merujuk pada QS Al-Baqarah : 228, apabila suami meminta maaf dan meminta untuk rujuk dalam waktu tiga kali quru’ atau masa iddah (haid) istri, talak dianggap batal, dan suami istri bisa melanjutkan perkawinan tanpa harus melakukan akad nikah lagi. Namun bila suami baru minta rujuk setelah istri melewati tiga kali quru’, maka suami istri harus mengulang akad nikah, lengkap dengan mahar dan dua orang saksi. Namun bila suami untuk ketiga kalinya menjatuhkan talak kepada istrinya (biasa disebut talak tiga), berarti perceraian dianggap final dan suami istri tidak bisa rujuk kembali. Rujuk hanya boleh dilakukan apabila kedua pihak masing-masing telah menikah lagi dengan orang lain dan kemudian sama-sama bercerai (atau ditinggal mati pasangannya). Tapi dengan catatan ketat, perkawinan dan perceraian (dengan orang lain) itu terjadi secara normal, bukan hasil rekayasa.
“Ini membuktikan bahwa di mata agama (Islam), proses rujuk bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng, yang dengan mudah dilakukan hanya karena kedua pihak sama-sama ingin bersatu kembali dalam perkawinan,” jelas Dr. Ira Puspitawati, MPsi., psikolog dari Universitas Gunadarma,. “Apalagi kalau ingin rujuk setelah talak tiga, itu harus benar-benar dipertimbangkan dengan hati dan kepala dingin, bukan semata dorongan emosional, misalnya demi anak-anak. Karena, kalau talak sampai tiga kali terucap, berarti masalah yang ada di antara suami istri tidak main-main lagi dan kerap berulang.”
Niat dari dua belah pihak
Kendati begitu, niat untuk rujuk tetap harus diberi apresiasi dan didukung. Karena, pada kenyataannya tak banyak pasangan bercerai yang ‘berani’ untuk rujuk. Lebih banyak yang memilih menikah lagi dengan orang lain. Padahal, bila didasarkan niat yang tulus, banyak hal positif yang bisa dipetik dari rujuk.
Ira menjelaskan, meskipun mungkin tidak diperlihatkan ke luar, sesungguhnya perceraian merupakan salah satu gempuran psikologis paling hebat yang dialami manusia dalam hidupnya. “Lepas dari apa penyebabnya dan siapa yang salah, perceraian kerap dianggap sebagai bukti kegagalan seorang suami atau istri dalam membina perkawinan atau mempertahankan pasangannya, dan hal itu merupakan pukulan batin yang menyakitkan.”
Gempuran psikologis yang hebat tak mustahil mampu mengubah karakter atau kebiasaan (buruk) seseorang, bahkan secara drastis. “Mungkin ada yang beranggapan, suami yang tukang selingkuh atau suka memukul tidak akan bisa berubah sampai kapan pun. Tapi bila kebiasaan buruk itu berakhir dengan perceraian yang menyakitkan, bukan mustahil dia akan bersedia mengubah diri secara total apabila diberi kesempatan untuk merajut kembali perkawinan yang terputus. Apalagi, sering kali kita baru menyadari betapa berharganya seseorang (pasangan kita) setelah kita kehilangan dia,” Ira menjelaskan.
Namun, agar rujuk berakhir dengan baik bagi semua pihak, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang:
1. Telaah semua sikap sikap dan perilaku yang berkontribusi dalam perceraian, sehingga setelah rujuk tidak terjebak lagi dalam masalah yang sama. Ciptakan keterbukaan terhadap setiap perubahan yang positif, yang mendukung keutuhan rumah tangga. Dalam kasus-kasus tertentu, ini jelas bukan perkara mudah. Teh Ninih, misalnya, dulu bercerai karena tidak mau dipoligami. Padahal, setelah rujuk pun ia tetap dipoligami.
2. Niat rujuk harus datang dari kedua belah pihak (suami dan istri). “Dalam perkawinan ada dua pihak yang sama-sama berperan hingga terjadinya perceraian, sehingga untuk rujuk pun niat harus datang dari kedua pihak. Keduanya juga harus mau melakukan usaha yang sama besar untuk memperbaiki hubungan yang pernah cedera,” ujar Ira. Bila keinginan hanya datang dari salah satu pihak, lebih baik pikir-pikir lagi niat Anda untuk rujuk.
3. Sembuhkan dulu luka-luka lama. Dalam hal ini, kemauan dan kemampuan untuk memberi maaf dan meminta maaf menjadi kata kunci. Perlu suatu ketulusan dan keikhlasan, karena dalam maaf terkandung proses yang melibatkan perubahan emosi dan sikap yang didorong oleh keputusan sukarela untuk meminta maaf ataupun memaafkan, sehingga tak ada lagi dorongan untuk membalas dendam atau mempertahankan pembenaran atas perilaku yang dulu menyebabkan perceraian.
4. Jangan menoleh lagi ke belakang. Fokuslah ke masa depan. Pelajari dan terapkan hal-hal yang berpotensi menguatkan ikatan suami istri yang dahulu mungkin terabaikan, misalnya agama, komunikasi, kedekatan dengan keluarga besar, dan sebagainya.
Tina Savitri